JAMETOLOGY BAB XXXIII

56 26 3
                                    

Senin, Sehari yang Lalu ...

Rubi mengajak Lia pergi ke perpustakaan dengan alasan untuk memberi jawaban atas pernyataan perasaan Lia saat pulang sekolah. Rubi dan Lia duduk bersebelahan di sebuah meja kosong di pinggir perpustakaan. Rubi dan Lia tidak punya waktu banyak karena Lia ada mata pelajaran lintas jurusan bahasa, Bahasa Inggris, dan Rubi ada mata pelajaran Sejarah IPS. Jadi, mereka mengusahakan paling tidak 30 menit untuk berbicara.

"Maaf aku baru bisa memberi jawaban sekarang," kaya Rubi, "padahal kita ada pelajaran lintas jurusan."

"Oh, gapapa, Rubi," balas Lia. "Lagian, aku bisa tebak jawaban kamu."

"Jawabanku?" Rubi heran.

"Rubi, kamu pastinya menolak aku karena aku tahu kamu suka Nilam."

Dahi Rubi berkerut. "Dari mana ...."

"Aku bisa ceritakan." Lia pun menceritakan bagaimana ia tahu soal Rubi yang menyatakan perasaannya ke Nilam di ruang OSIS.

"Jadi, begitu?" Rubi menanggapi setelah menyimak cerita Lia. Ternyata begitu ceritanya.

"Ya. Sepertinya, kamu memang suka sama Nilam, ya?"

"Ya, begitulah," kata Rubi malu.

"Aku cuma mau tahu saja, Rubi. Mengapa kamu suka Nilam? Padahal dia sudah menolak kamu dan mengatai kamu jamet."

"Hmmm, itu, aku sendiri tak yakin dan tak terlalu memikirkan. Sementara itu, Nilam adalah orang yang suka berpikir keras," kata Rubi lalu terkekeh. "Nilam adalah orang yang menarik sejak pertama kali aku kenal Nilam. Aku ini agak perasa, sedangkan Nilam itu seorang pemikir. Jadi, aku percaya, lama-lama, dengan kemampuan berpikir Nilam, Nilam bakal bisa menerima aku juga."

Lia manggut-manggut. "Aku sudah suka kamu dari dulu, meski kamu lebih jamet dulunya. Tapi, aku akuin, Nilam punya perkembangan yang pesat dari mengatai kamu jamet sampai menerima kamu sebagai teman. Nilam cepat berubah, cepat menghadapi perubahan."

"Ya, begitu. Nilam gak cuma orang yang aku inginkan, tapi juga orang yang aku butuhkan," kata Rubi. "Bukan berarti aku gak butuh kamu, kamu juga temanku, Lia. Tapi, Nilam bisa mengisi hal yang berbeda buatku."

"Oh, gitu," tanggap Lia mengerti. Pengalamannya membaca novel-novel romansa membuatnya langsung paham. "Opposite attracts. Kalian bisa saling melengkapi."

"Nah, itu dia istilahnya."

"Aku juga sadar," lanjut Lia "nama kalian sama-sama nama batu permata. Rubi dan Nilam. Yah, sama namaku juga, sih. Emeralia dari emerald atau zamrud."

"Tapi, setahuku, komponen zamrud dengan komponen safir—atau nilam—dan ruby itu berbeda," kata Rubi. "Safir dan ruby sama-sama batu korundum, punya senyawa penyusun yang sama: aluminium oksida, Al₂O₃. Perbedaan yang paling mencolok, ya, cuma warna keduanya saja karena jejak unsur logam lain. Safir yang warna biru, atau warna lain selain merah, ruby yang warna merah."

"Benar. Berarti, kalian sebenarnya sangat cocok. Kalian berbeda sekaligus sama. Sekali lagi, saling melengkapi, komplementer."

"Oh, ya, gitu," kata Rubi malu lagi.

Lia menoleh ke Rubi dan mulai menerangkan, "Sepertinya, Nilam juga suka kamu, Rubi. Tapi, dia belum pernah bilang langsung. Jadi, ada baiknya kalau kamu tunggu sampai Nilam yang bilang langsung ke kamu."

"Hah?"

"Nilam bukan pembohong, Nilam orang yang jujur. Dari yang terlihat, Nilam pasti selalu senang kalau kamu temani dia. Toh, dia mau mendengarkan kamu, kok, walau dia pernah kesal ke kamu juga karena kamu dan teman-temanmu enggak sengaja mengganggu dia mengerjakan PR. Tapi aku yakin, bagi Nilam, itu sudah lewat. Aku yakin kalian juga tambah dekat karena divisi media pensi."

Rubi terkekeh dan mengusap-usap kepalanya sendiri. "Yah, memang begitu."

"Mungkin Nilam juga suka kamu," imbuh Lia, "tapi Nilam sendiri belum sadar. Meski kamu punya kekurangan, meski dia menganggap kamu jamet, dia menerima keberadaan kamu dengan terbuka. Dia sudah mencoba terbuka."

"Apa begitu yang Lia lihat?"

"Ya, aku dan Nilam sesama perempuan, senang dengan kehadiran sesuatu atau seseorang yang familier. Kamu dan ke-"jamet"-anmu sudah sangat familier untuk Nilam. Kalau familier, ada kemungkinan untuk bisa bikin nyaman."

"Apa aku ... bisa memberi Nilam kenyamanan itu?"

"Kamu sudah sampai situ, Rubi."

Rubi mendengkus, sontak merasa bersalah kepada Lia, teman sekelasnya ini. "Lia, maaf," ucap Rubi. "Maaf sekali lagi. Aku merasa tak bisa menolakmu, tapi aku juga tak bisa menerima kamu. Jadi, pada akhirnya, aku harus menolak kamu, Lia. Aku sudah suka orang lain, aku sudah punya orang lain yang aku suka. Aku memang menyukai Nilam. Maaf, aku tak bisa menerima kamu."

"Enggak, gak apa-apa," kata Lia. Lia menghela napas. "Yah, kita masih ada sisa satu semester lagi buat bersama. Aku cuman bisa berharap kalau aku tidak sekelas sama kamu lagi di kelas 11. Butuh pengalaman baru, kamu tahu."

Rubi memohon, "Tolong. Kita masih bisa berteman, kan? Kalaupun tidak, kamu bisa abaikan aku, anggap kalau kamu tidak begitu kenal aku secara karib. Aku juga bakal jarang ngajak kamu ngobrol lagi."

"Mana bisa aku abaikan kamu yang duduknya di depan aku?" kata Lia. "Iya, kita teman karib, kok. Jadi masih bisa berteman. Yang penting, aku sudah lega sekarang."

Rubi mengatupkan bibirnya lalu berkata, "Maaf aku tidak bisa ngasih apa yang kamu mau. Aku pasti sudah bikin kamu sedih."

"Apa yang aku mau belum tentu apa yang aku butuh," balas Lia. "Sedih? Hm, sedikit. Lebih baik sedih karena diberi tahu kebenarannya langsung daripada sedih karena diberi harapan kosong. Disakiti secara tidak langsung ternyata lebih sakit daripada disakiti secara langsung."

Rubi terkekeh lirih. "Apa yang sudah kulakukan sampai kamu jadi seperti ini? Apakah aku masih bisa pantas jadi teman kamu setelah ini?"

"Iya, masih. Aku yang seharusnya tanya kamu. Kamu masih bisa ajarin aku dan bantu jawab pertanyaan pas pelajaran di kelas, kan?"

"Bisa, bisa," jawab Rubi lalu tertawa. Lia pun ikut tertawa.

"Cukup dengan kamu masih mau bantu aku belajar selama kelas 10 ini," tambah Lia. "Aku bakal gak apa-apa. Aku bakal belajar lebih baik lagi di kelas 11 kalau aku gak sekelas sama kamu nanti."

Rubi mengangguk. "Oke. Aku siap. Aku bakal jadi tutor kamu selama sisa waktu kelas 10."

Lia mengangkat bahu dan tangannya. "Temanku adalah tutorku. Seperti judul cerita fiksi picisan."

Lima detik kemudian, Lia dan Rubi tertawa. Mereka menertawakan lelucon picisan Lia, menertawakan diri mereka, menertawakan kondisi mereka saat ini, menertawakan masa depan mereka, dan menertawakan penerimaan akan masa depan mereka sendiri.

JAMETOLOGYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang