JAMETOLOGY BAB XXVII

49 27 0
                                    

"Nilam! Hei, Nilam!"

Lele mengejar Nilam yang pergi ke kantin. Lele tahu mengapa Nilam marah dan mendiamkannya sedari pagi. Tidak hanya sedari pagi, tetapi juga dari selumbari setelah kepulangan mereka dari kampus perguruan tinggi yang mereka kunjungi.

Nilam mau tidak mau menghentikan langkahnya ke kantin, terhenti di daerah depan TU sekolah karena Lele memanggilnya. Nilam mengangkat kedua alisnya, mendongak, dan mendengus. "Ada apa, Lele?"

Lele menghela napas setelah berusaha mengejar Nilam. "Tolong jangan begini. Tolong jangan diamkan aku dan Mayang terus. Apalagi Mayang, dia tidak punya salah apa-apa."

"Kamu cerita ke Lia soal Rubi yang bilang suka kepadaku. Kamu mau bikin diriku dinilai buruk untuk Lia dan Lia akan berupaya menyaingiku karena dia suka Rubi, sedangkan Rubi-nya suka aku. Apa benar begitu?" Nilam memvonis.

Lele menggeleng. "Enggak, maksudku bukan begitu. Tapi, ya, itu salahku," ucap Lele. "Aku yang hanya ingin memberi tahu Lia mengenai apa yang kutahu mengenai Rubi, aku tahu dari Kak Nunu. Kuberi tahu Lia soal itu. Lia memang terkejut karena ternyata tipe perempuan kesukaan Rubi adalah dirimu," Lele menjelaskan. "Kemudian, waktu itu, Lia sendiri yang mengusulkan kunjungan ke kampus itu. Ternyata, Lia juga mengonfrontasi kamu soal Rubi. Aku minta maaf, Nilam."

"Oke." Nilam mengangguk. "Seenggaknya, sekarang aku sudah tahu ceritanya dari kamu. Cukup tahu."

"Nilam, dengar aku," Lele berkata, "aku gak mau kamu terus marah ke aku. Aku benar-benar gak tahu kalau ini bakal bikin kamu marah. Mengapa juga kamu tidak pernah cerita kalau Rubi pernah bilang "suka" kepada kamu? Apakah kamu tidak suka Rubi?"

Nilam tahu jawaban dari pertanyaan itu. Bukannya aku tidak menyukai Rubi, tetapi perasaanku tidak bermaksud untuk mengatakan itu benar. Nilam sudah berupaya untuk memilah dan mengidentifikasi perasaannya sendiri, juga meluruskan pemikiran soal perasaannya sendiri. Itu tidak berarti perasaannya tidak akan berubah sewaktu-waktu. Nilam sadar, tetapi merasa bahwa sekarang belum menjadi waktu yang tepat.

"Aku ... hanya menyukai Rubi sebagai teman. Aku sudah menolaknya. Aku sedang tidak ingin berpacaran dengan siapa pun, tidak juga dengan Rubi meski kami berdua sering mengobrol. Aku hanya ... tidak menyukainya secara romantis seperti itu," jawab Nilam.

"Kamu menolaknya," tanggap Lele. "Lalu, kenapa kamu gak pernah cerita?"

Nilam mendengus lagi. "Aku pikir, itu agak memalukan. Jadi, aku berusaha jadiin itu rahasia antara aku, Rubi, dan beberapa pengurus OSIS yang melihat. Tapi, yah, itu sudah bukan lagi jadi rahasia. Kalian sudah tahu sekarang."

"Rahasia, ya?" Lele mengulas senyum. "Pernyataan cinta memang bikin malu, benar. Baik bagi yang dinyatakan maupun bagi yang menyatakan. Aku paham itu."

"Kamu paham?"

"Aku bakal mengerti perasaanmu, Nilam," kata Lele. "Soalnya ... Kak Juno akhirnya bilang "suka" padaku kemarin lewat phone call Line."

"Wah!?" Nilam terperangah. "Terus, kamu jawab apa?"

"Belum aku jawab apa-apa," balas Lele. "Tapi, mungkin aku mau menerima Kak Juno meski aku gak tahu bakal gimana ke depannya kalau buat OSIS nanti."

"Harusnya, itu bisa membantu. Tapi, kamu sewajarnya saja."

"Iya." Lele mengangguk. "Jadi, ya, aku tahu rasanya dinyatakan perasaan. Kamu gak sendirian."

Nilam serasa ingin memeluk sahabatnya ini. "Tapi, gimana dengan Lia? Kamu pasti merasa ... terbelah menjadi dua begini."

"Aku mendukung kalian berdua. Kalian temanku," kata Lele. "Aku bisa, kok. Apa pun yang terbaik buat kalian. Kalian pasti akan berbaikan nanti demi kebaikan kalian."

"Makasih, Lele."

"Nilam," Lele berkata sebelum Nilam pergi lagi, "kalau kamu masih enggak mau bicara sama aku, aku gapapa. Aku kasih kamu waktu untuk berjarak dari aku." Nada suara Lele seperti dipenuhi penyesalan. "Kamu butuh waktu istirahat."

Nilam membalas, "Aku masih percaya kamu, Lele. Ini semua salah paham. Aku pasti bakal maafin kamu."

"Aku cuma ... berharap kamu masih mau menghubungiku nanti kalau kamu butuh bantuan. Aku minta maaf." Lele tercekat dan meminta maaf seraya mempertemukan kedua telapak tangannya sendiri.

Nilam mengangguk. "Ya. Kamu benar, Lele. Aku butuh waktu juga buat menerima dan memahami ini semua." Nilam menepuk pundak Lele sekali. "Sekali lagi, makasih, Lele."

"Sama-sama."

Nilam mengangguk sekali lalu melanjutkan pergi ke kantin sekolah. Lele memperhatikan Nilam pergi dan kembali menghela napas. Lele dan Nilam sedang berada dalam jalan untuk berdamai meski mereka harus melalui jalan bercabang dan berliku. Membutuhkan jarak dan waktu, memang. Akan tetapi, Lele dan Nilam menuju ke sana, ke tujuan yang sama, berdamai bersama.

Sementara itu, Nilam memikirkan perasaannya sendiri lagi. Persoalannya dengan Rubi makin rumit. Tidak hanya soal Rubi yang jamet baginya, yang mungkin Nilam mulai mampu toleransi saat ini, tetapi juga bagaimana perasaan teman-teman Nilam di sekitarnya yang bersangkutan dengan Rubi. Namun, Nilam tentu hanya baru bisa memastikan perasaannya sendiri terlebih dahulu. Bisakah Nilam menduga akan menjadi apa perasaannya jika itu berubah?

Tidak akan ada kebangkitan kalau tanpa kejatuhan. Begitu juga sebaliknya. Aku mau jatuh secara pelan-pelan saja sekarang.

JAMETOLOGYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang