Nyatanya, di sekolah, Nilam belum bisa langsung bertemu dengan Rubi. Jadwal mata pelajaran pada hari ini memang cukup padat. Sebelum istirahat pertama, Nilam, bersama dengan Nikmah yang urutan presensinya sebelum Nilam, ditunjuk untuk membantu membawa buku lembar kerja siswa (LKS) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ke ruang guru. Semua murid kelas 10 D harus mengerjakan dan mengumpulkan buku LKS PKn sebagai "tiket" mengikuti UTS PKn.
"Nikmah Putri Nugraha dan Nilam Widita Nurdiani, tolong bawa ke meja ibu di ruang guru, ya. Ibu mau ke ruang kepala sekolah dulu," kata Bu Aliyah setelah menunjuk Nikmah dan Nilam.
"Baik, Bu."
Tanggal pada hari ini sama dengan nomor urut presensi Nikmah, jadilah Nikmah yang ditunjuk sementara Nilam yang urutan presensi setelahnya ditunjuk juga untuk membantu. Nilam dan Nikmah membagi dua tumpukan buku LKS setelah menyanggupi permintaan Bu Aliyah.
"Huh! Kenapa hari ini tanggalnya kurang beruntung, sih? Aku jadi ditunjuk Bu Aliyah, kan," keluh Nikmah saat berjalan ke luar kelas bersama Nilam. Bu Aliyah sudah pergi duluan ke ruang kepala sekolah.
"Hahaha. Gapapa, Nikmah. Aku bantu, kok."
Saat keluar kelas, Nilam menoleh sebentar ke arah 10 C. Belum terlihat seorang siswa yang keluar kelas 10 C.
"Kenapa, Nilam? Mencari siapa?" tanya Nikmah.
"Oh, itu, kelas 10 C belum keluar, ya," kata Nilam. "Aku mencari temanku."
"Oooh, kalau gak salah, kelas 10 C lagi ada kuis Kimia dari Pak Nuh. Jadi, mungkin keluarnya sedikit lewat waktunya," terang Nikmah lalu melanjutkan berjalan ke ruang guru. Nilam pun mengikuti Nikmah setelah mendengarkan keterangan dari Nikmah.
"Oke." Kemudian, Nilam menghela napas. Apa aku tunggu sampai kelas 10 C keluar? Atau nanti waktu makan siang saja? Ah, aku mau menulis sesuatu tentang materi webinar water treatment. Aku mau beli kupat tahu dari kantin buat makan di kelas. Jadi, waktu sepulang sekolah. Ya! Pulang sekolah saja.
Nilam dan Nikmah akhirnya sampai di meja Bu Aliyah. Mereka meletakkan tumpukan buku LKS PKn di atas meja bersebelahan dengan tumpukan buku-buku LKS PKn dari kelas-kelas lain yang diajar Bu Aliyah. "Nah, sudah. Ayo kita keluar untuk istirahat," ajak Nikmah.
"Ayo!"
***
Waktu pulang sekolah akhirnya tiba. Nilam segera membereskan tasnya lalu keluar kelas. Nilam melihat siswa-siswi kelas 10 C berbondong-bondong keluar pula. Nilam akhirnya melihat Rubi keluar kelas. Namun, Rubi tidak berjalan ke gerbang utama sekolah, tetapi ke gerbang samping. Dahi Nilam berkerut. Bukannya dia kemarin keluar sekolah di gerbang utama?
Nilam mengikuti Rubi dan beberapa siswa lain yang berjalan ke gerbang samping. Sesudah dirasa aman untuk memanggil Rubi, Nilam pun menyerukan namanya, "Rubi!"
Langkah Rubi di depannya terhenti lalu Rubi membalikkan badan. Rubi menyunggingkan senyum dan menyapa Nilam, "Halo, Nilam."
Nilam dan Rubi sudah saling menghadap di sisi pinggir selasar sekolah, membiarkan siswa-siswi lain berjalan melewati mereka di sebelah lain selasar.
"Rubi, kenapa kamu keluar lewat gerbang samping? Kemarin kamu keluarnya di gerbang utama, kan?" tanya Nilam serta-merta.
"Oh, ya, itu soalnya aku temenin Nilam buat cari angkot dulu yang lebih banyak lewat di gerbang utama, kan," jawab Rubi. "Sebenarnya, aku ke sekolah pakai motor yang aku titip parkirnya di depan warung sate. Warung satenya, kan, lebih dekat kalau lewat gerbang samping."
"Oh, gitu, ya," tanggap Nilam. "Jadi, kamu pakai motor dan cuma nemenin aku pulang kemarin?"
"Iya. Kenapa? Nilam mau pulang bareng?"
"Ih, enggak! Bukan begitu! Aku cuma penasaran saja."
"Oh, ya udah."
"Ngomong-ngomong, aku mau minta maaf," Nilam berujar.
"Minta maaf?"
"Aku mengata-ngataimu jamet berantakan kemarin."
"Heh." Rubi meringis. "Yah, memang sejauh ini, cuma Nilam yang pernah mengomentari pakaianku. Nilam tak suka, ya, dengan gaya berpakaianku?"
"Bukan tidak suka—" Nilam segera terdiam. Ia merasa kalau ia hampir berbohong, baik ke Rubi maupun ke dirinya sendiri. "Yah, aku memang kurang suka dengan gaya yang seperti itu, tapi bukan berarti aku benar-benar benci. Mungkin aku yang harus berusaha menolerir."
"Menolerir," cemooh Rubi. "Bahkan kamu tak tahu kalau 'menolerir' itu bukan kata baku. Yang bakunya adalah 'menoleransi'."
"Oh, ya, oke. Maaf. Intinya, aku salah. Aku merasa bersalah."
"Ya, aku maafin Nilam. Kita sama-sama sedang belajar. Maafin Rubi juga, ya."
"Ya." Nilam menatap Rubi.
Rubi melihat Nilam yang memperhatikannya, "Kenapa?"
Nilam mengernyit. "Tidak, tak apa-apa."
"Lho, kenapa? Kamu melihatku terus."
"Tidak apa-apa, kok," geleng Nilam.
"Serius?"
Akhirnya, Nilam berucap, "Begini, kamu sebenarnya punya wajah yang tampan, Rubi. Tapi, maaf, ponimu yang panjang itu menutupi wajahmu. Itu kurang cocok juga buat bentuk wajahmu yang bulat. Wajahmu kelihatannya kecil jadinya."
"Oh, ini," Rubi menyentuh poni rambutnya. "Aku punya banyak jerawat di dahiku, jadi kututupi."
"Oh ya?" Nilam tidak menyangka sebelumnya karena bagian wajah Rubi yang lainnya masih tampak mulus. "Mana? Coba kulihat."
Dengan sangsi, Rubi menyibak poninya. Nilam membelalak sejenak. Memang ada beberapa benjolan kecil jerawat dan bekas merah-hitam di dahi Rubi. Rubi kembali menutup dahinya dengan poni.
Nilam menghela napas. "Kamu jangan sembarangan menyentuh dahimu dengan tangan kotor, dong. Justru poni kepanjangan begitu bisa bikin banyak jerawat muncul. Kamu enggak keberatan pakai skin care, kan?"
"Skin care?"
"Produk perawatan kulit," terang Nilam. "Minimal pakai sabun cuci muka buat bersih-bersih wajah. Nanti kalau kamu rajin membersihkan wajah, kamu bisa pakai produk antijerawat."
Rubi menggeleng. "Aku belum pernah pakai produk skin care. Aku cuci muka pakai sabun batang biasa."
"Jangan pakai sabun batang biasa. Kulit wajah cenderung lebih sensitif dan halus daripada kulit di bagian badan lain. Sabun batang biasa bisa bikin kering dan kasar karena terlalu basa untuk kulit wajah," jelas Nilam. "Ada, sih, sabun cuci muka khusus yang berbentuk batang. Nanti aku carikan. Terus, kamu harus pakai salep obat jerawat. Kalau sudah mereda, kamu bisa pakai serum pencegah jerawat. Nih, aku kirim daftar produk yang perlu kamu punya."
Nilam mengutak-atik ponsel pintarnya untuk mengirimkan daftar skin care ke Rubi lewat Line. Rubi memperhatikan pesan dari Nilam. "Makasih, Nilam. Kamu baik sekali. Kamu perhatian juga kepadaku, ya?"
Nilam menghela napas lagi. "Habisnya, kamu ternyata tidak memperhatikan wajahmu sendiri. Bukannya orang-orang jamet sepertimu harusnya lebih memperhatikan penampilan?"
"Haha, iya deh," tawa Rubi. "Kamu tuh begitu cuek, Nilam."
"Begitu cuek?"
"Tapi, Nilam pintar dan baik. Itu juga yang kusuka dari Nilam," kata Rubi malu-malu. Rubi menggeleng cepat. "Ya sudah, aku mau pulang duluan."
Nilam ikut berkata. "Oke. Hati-hati."
Rubi tersenyum dan mengangguk singkat untuk pamit. Rubi membalikkan badan, meninggalkan Nilam. Nilam pun berjalan ke arah yang berlawanan dari Rubi.
Di jalan pulang, Nilam memikirkan perbuatannya tadi. Nilam sudah berusaha untuk tidak memiliki hubungan dengan Rubi, tetapi yang ia lakukan kepada Rubi justru seperti memberi Rubi kesempatan satu kali lagi untuk mendekatinya. Tidak, tidak hanya satu. Mungkin masih beberapa kali lagi.
"Mengapa aku membantunya, ya? Selain karena dia temanku," gumam Nilam ke dirinya sendiri. Lagi-lagi, Nilam menghela napas. Ya, mungkin itu karena aku menuruti masukan dari Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAMETOLOGY
Novela JuvenilNilam tidak menyukai laki-laki jamet alias 'jajal metal' yang suka berpakaian dan punya gaya berbicara aneh serta menongkrong dan mengobrol berkepanjangan seperti tidak ada tujuan. Menurutnya, masa muda tidak boleh dilewati secara sia-sia tanpa renc...