Nilam merasakan lengan atas kiri Rubi yang keras saat dia menariknya, jadi Nilam menarik Rubi sekuat yang dia bisa. Rubi mendesis karena lengannya telah lama ditarik dan dicengkeram oleh Nilam sampai cukup jauh dari ruang OSIS. "Aduh, aduh!" Rubi mengaduh dan itu membuat Nilam melepaskan genggamannya dari lengan atas kiri Rubi. "Aduh! Nilam, kamu kuat sekali menariknya."
"Apa-apaan, sih, kamu?!" Nilam mencecar dan melewatkan kesakitan Rubi. "Apa-apaan, hah?! Bisa-bisanya kamu seenaknya menyatakan perasaan suka begitu."
"Aku salah? Apa aku tidak boleh menyatakan perasaan sukaku ke kamu?" tanya Rubi seraya meringis dan mengusap-usap lengan atas kirinya.
"Bukan dengan cara begitu! Tidak boleh saat ada banyak orang, terutama kalau di depan orang-orang yang merupakan kakak kelas kita! Malu, tahu! Kamu tahu malu, tidak?!"
Nilam merasa bebas memarahi Rubi di depan pintu masuk toilet karena di sekitar situ sedang sepi, tidak terlihat ada siswa-siswi atau petugas sekolah barang satu orang pun.
"Iya, aku tahu. Maaf, Nilam. Maaf sudah membuat Nilam malu."
"Ugh!" Nilam mengerang, kedua tangannya terkepal. "Lagian, ya, kenapa kamu tiba-tiba bilang suka kepadaku? Kenapa kamu suka aku?"
Rubi menjawab, "Karena Nilam sering memperhatikanku. Aku menyadari kalau Nilam suka memperhatikanku. Aku juga memperhatikan Nilam yang memperhatikanku."
"Aaargh!" Nilam mengerang lebih keras sambil menggaruki kepalanya. "Kamu pikir, kalau aku sering memperhatikanmu, itu selalu artinya aku suka kamu? Enggak. Enggak, ya! Aku gak suka kamu. Aku melihat kamu kayak begitu justru karena aku gak suka sama kamu."
"Jadi, Nilam tidak suka aku?"
"Tidak! Tidak suka dengan perasaan yang seperti rasa romantis itu karena aku tidak suka laki-laki dengan tipe yang seperti kamu."
"Kalau boleh tahu, apa yang bikin Nilam tidak menyukaiku?"
"Kalau boleh tahu? Coba kamu bercermin nanti." Nilam menunjuk toilet yang kebetulan ada di dekat mereka.
"Aku jelek, ya?"
"Bukannya jelek, tapi kamu itu bocah jamet! Kamu emang bukan tipeku!" omel Nilam. "Aku yakin, kamu pun belum tahu kamu mau kuliah di mana sehabis SMA ini. Emangnya kamu tahu mau kuliah di mana nanti?"
"Aku mau kuliah Kedokteran."
"Nah kan ..., HEH!?" Nilam terkejut mendengar jawaban Rubi. "Dokter?! Kedokteran? Dok-dokter apa?"
"Psikiatri," jelas Rubi. "Yang enak dari jadi psikiater adalah selain menganalisis masalah psikologisnya, kita juga bisa mendiagnosis. Kalau psikolog, kan, gak bisa mendiagnosis langsung dengan metode medis. Kita bisa bantu klien atau pasien lebih lanjut karena itu. Yah, aku punya cadangan kuliah Psikologi juga kalau Kedokteran terlalu sulit. Nilam mau kuliah di mana?"
"Ternyata kamu tahu banyak juga, ya," kata Nilam. "Sejauh ini, aku mau ke Teknik Industri."
"Itu bagus. Sepertinya cocok untuk Nilam."
Nilam mengedikkan bahu. "Kalau katamu begitu."
Rubi menghela napas. "Nilam memang tidak menyukaiku, ya? Aku salah ternyata. Aku kira, Nilam sering memperhatikanku karena Nilam suka aku. Tapi ternyata sebaliknya. Nilam merasa jijik dan memandangku dengan hina. Mana tadi Nilam bilang aku bocah jamet jelek."
"Bukan begitu yang tadi aku bilang! Aku juga tidak benar-benar merasa jijik dan tidak memandangmu dengan hina ....
"Tapi, jadi," Nilam mencoba bertanya, hampir-hampir pembicaraannya teralihkan, "kamu merasa kalau kamu ini jamet, tidak?"

KAMU SEDANG MEMBACA
JAMETOLOGY
Ficção AdolescenteNilam tidak menyukai laki-laki jamet alias 'jajal metal' yang suka berpakaian dan punya gaya berbicara aneh serta menongkrong dan mengobrol berkepanjangan seperti tidak ada tujuan. Menurutnya, masa muda tidak boleh dilewati secara sia-sia tanpa renc...