Bab 1 - Cemara?

2.4K 218 32
                                    


"Ka Caca belum pulang mam?"

Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar mengikuti ucapannya memecah keheningan. Abil mengambil satu piring, sendok beserta garpunya.

"Belum dek, katanya agak malem" jawab wanita paruh baya yang cantiknya tak kira-kira. Wanita yang selalu sigap bersedia meraih piring dari tangan Abil lalu mengisinya dengan nasi putih beserta lauk pauknya.

"Makasih mam" ucap Abil kembali meraih makanan dari tangan sang mama. Mamanya menjawab seraya tersenyum ke arahnya. Abil diperlakukan bak tuan putri, meski tidak meminta apapun tapi orang tuanya selalu mengerti.

Detik selanjutnya, suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring terdengar memenuhi ruang makan.

"Eh, ko papa ditinggalin sih"

Suara pria yang baru saja bergabung itu membuat Abil mendongakkan kepala dengan mulut penuh oleh sayuran yang belum masuk sepenuhnya.

"Papa udah pulang ternyata"

"Udah dong, kan mau makan malam bareng mama cantik dan putri cantik papa."

Abil mengangguk, sudah biasa. Papanya memang semanis itu ucapannya setara dengan perlakuan padanya. Type-type cowo idaman kalo kata orang sih begitu.

Mamanya juga memperlakukan hal yang sama pada papanya, menyuguhkan makanan yang sudah siap santap. Best mother, itulah mama nya. Contoh yang baik bagi Abil pun kakak perempuan yang belum juga pulang karena kesibukannya.

"Hari ini kuliahnya gimana nak?" Tanya sang papa setelah satu sendok masuk ke dalam mulutnya.

"Lancar pa, aman dan menyenangkan selalu" Abil spontan mengangkat jempolnya, membuktikan dengan simbol itu bahwa hari ini semuanya baik-baik saja.

"Hari ini ga ikut latihan di kantor Kakak?" Papanya masih terus memancing obrolan.

Hangat, menurut Abil. Setiap malam seperti ini dan tidak kehabisan topik. Papanya pintar memberi pertanyaan sehingga tidak pernah ada keheningan di dalam rumah mereka kecuali hening karena damai.

"Ngga pah, Abil cape abis ngerjain tugas di rumah Deva."

Ayahnya mengangguk paham, terkadang kegiatan putri bungsunya memang terbilang padat. Satu sisi harus memenuhi tugas-tugas kampus yang tak kira-kira di semester tiga ini. Lalu menyalurkan hobi dan bakat bernyanyi sembari ikut berlatih di studio yang berada di dalam kantor kakak nya.

"Nak, papah takut kamu kecapean. Menurut papah, gimana kalo kamu papa kasih supir pribadi ajah?"

"Nggak pah! Abil ga mau!" Tolaknya dengan tegas. Bagaimana tidak, satu-satunya momen paling menyenangkan bagi Abil itu berada di atas motor sendirian, menikmati perjalanan meski diterjang terpaan debu yang tak kira-kira kotorannya.

"Papa ga maksa kalo adek ga mau, yang penting adek harus selalu ingat. Papa mengizinkan Abil bawa motor sendiri karena papa ga mau Abil dibonceng sama sembarang cowo!"

Abil akui, maksud papa nya itu baik bahkan sangat baik. Demi menjaga marwah-nya sebagai perempuan, demi menjaga dirinya sendiri juga. Tapi papa nya melupakan satu hal.

"Tapi papa biarin Nando bonceng Abil"

"Itu beda nak, Nando kan agak . . Lunglai gitu ya"

Nabila tak kuasa menahan tawanya mendengar penuturan sang papa. Ia menutupi mulutnya karena hampir saja makanannya tersembur keluar.

"Eh, papa ga boleh gitu sama sahabat Abil!"

"Iya nak, maaf. Maksud papa gitu deh . . Abil paham kan?"

Pintu yang samaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang