Bab 3 - Kesal dan khawatir

1.5K 225 25
                                    


G

emerlap lampu berwarna-warni yang menghiasi dinding kamar Abil terlihat sangat indah. Inilah pemandangan yang selalu Abil nikmati sebelum matanya terpejam sempurna.

Tubuhnya sudah ia rebahkan di atas kasur, meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Lelah seharian ini berkegiatan meskipun tidak pernah lebih berat dari kegiatan kakaknya yang padat. Tapi ini cukup melelahkan baginya.

Baru juga bernafas lega, Abil seperti melupakan sesuatu.

Satu minggu terakhir ia berusaha konsisten meminum air lemon hangat demi berat badannya terjaga. Hampir saja ia melupakan rutinitas nya malam ini. Mau tidak mau, ia harus bangkit untuk ke dapur demi membuat perasaan air lemon yang dicampur dengan air hangat.

Menuruni undakan tangga sembari melawan ngantuk yang sudah menerjang sebetulnya. Sesampainya di dapur pun, Abil tidak sempat menyalakan lampunya dan hanya mengandalkan cahaya remang-remang dari arah ruang tamu dan dari ruang studio musik yang masih terang benderang. Tentu saja, masih banyak manusia di sana. Caca beserta teman-temannya belum juga menyelesaikan kegiatannya meski sudah cukup malam. Mungkin karena besok weekend, mereka bebas sampai jam berapapun.

Abil memotong satu buah lemon yang ia dapatkan dari dalam lemari pendingin, dimasukan ke dalam alat pemeras, kemudian mencampurkan nya dengan air hangat. Tidak cukup baik jika diminum di dapur dalam keadaan gelap seperti ini, Abil lebih memilih meminumnya di kamar saja.

Baru saja kakinya berjalan beberapa langkah. Gelas yang ia genggam terdengar menabrak sesuatu yang cukup keras sehingga airnya meluber jatuh.

Mata yang tadinya sulit terbuka lebar pun akhirnya Abil buka lebar-lebar bersamaan dengan mulutnya yang menganga terkejut.

Makhluk di hadapannya menjulang tinggi, ia bahkan hanya sebatas pundaknya mungkin. Eh, sebatas dada karena dahinya hampir menyentuh dada yang terbalut kaos hitam tersebut. Kaos hitam yang basah bagian dadanya akibat ulah Abil tak sengaja menumpahkan air perasan lemon yang ada di tangannya.

Lambat laun ia mendongak, meskipun takut. Jika saja ini sejenis setan, Abil akan dengan rela menumpahkan segelas lemon ditangannya pada sosok di hadapannya ini. Karena gelap mendera, Abil jadi tidak melihat adanya manusia lain di dapur bersamanya.

Benar manusia, ini bukan setan yang ia kira. Manusia yang rahangnya ia tatap dari bawah. Manusia yang wajahnya putih bahkan ditengah gelapnya dapur rumah Abil.

Tangan Abil gemetar melihat wajah yang juga melihat ke arahnya dengan tajam. Abil takut, tentu takut.

"Mm-maaf maaf" lirihnya memundurkan tubuh beberapa langkah menjauh dari dada yang menghadang wajahnya.

Abil tak menghentikan langkahnya karna manusia di depannya juga ikut melangkahkan kaki ke depan. Membuat Abil was-was dan terus melangkah mundur, sampai punggungnya tidak bisa bergerak lagi karena sudah berada di akhir, menempel pada dinding. Gerakan selanjutnya, manusia di depannya mengangkat tangan kekar membuat Abil menunduk sambil memejamkan mata.

Apakah dia akan memukul tubuh Abil yang mungil?
Apakah tangan yang terangkat akan mendarat pada bagian tubuhnya?
Apakah manusia itu marah karena bajunya basah terkena tumpahan air lemon milik Abil?
Itu wajar karena salahnya juga, salah Abil lebih jelasnya. Tapi . .

Ceklek

Cahaya terang benderang menguasai ruang dapur, membuat Abil mengembuskan nafas lega setelah menahannya beberapa saat yang lalu. Abil salah sangka, manusia itu bukan ingin memukulnya tapi hendak menekan tombol yang ada di belakang Abil agar lampunya menyala. Astaga, bodohnya Abil, gerutunya sendiri.

Pintu yang samaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang