Bab 26 - Perintah dan ancaman

1.4K 231 41
                                    

Mengulik kembali perjalanan pendidikan Fero, sedang berusaha Deva jelaskan pada gadis yang duduk menopang dagu di hadapannya.

Jika bukan karena terpaksa, Deva enggan sekali membahas lagi apapun yang berkaitan dengan kakak angkatnya. Lagi lagi ini demi Abil.

"Kak Fero itu sempat kuliah di Indonesia, di luar negeri hanya melanjutkan saja dengan lulusan terbaik dan nilai yang menurutku sih memuaskan"

"3,5 tahun sudah berhasil wisuda sarjana strata 1, lalu 1 setengah tahun berhasil menyelesaikan S2-nya."

Siapa sangka, Abil pun tidak menyangka dan sempat memastikan beberapa kali. Benar adanya atau tidak.

Sebab waktu pendidikannya terbilang cepat. Dibalik kehancuran masa SMA ternyata keberhasilan juga cepat menghinggapi pria berwajah setengah bule itu.

Deva terdengar mengaduk minuman yang sempat dipesan, kemudian kembali menatap Abil yang masih menunggu kelanjutannya.

"Dia pinter bil, cuman ya gitu aja dulunya."

Abil masih belum mau bicara, ia sangka Deva akan melanjutkan lagi ceritanya. Ternyata tidak.

"Kenapa sih tanya tanya kak Fero terus bil!"

Mendengar Deva menggeram, Abil segera menegakkan tubuhnya lalu pura-pura merapihkan hijab. "Ya ga papa, tanya aja."

Deva yakin, bukan hanya sebuah pertanyaan biasa. Deva tau, sahabatnya memang sedang butuh informasi tentang kakak angkat nya itu.

Dari apa yang Abil dengar, ia bisa menyimpulkan jika pria bertubuh atletis yang ia kenal itu tidak sekedar mempunya kelebihan dalam bidang tarik suara. Tapi juga memang pendidikannya yang tinggi. Jadi, kekhawatiran Abil mengenai pekerjaan Fero kian surut.

Artinya, Fero tidak akan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Bahkan, jaminannya sebuah pendidikan yang cukup menggiurkan.

"Btw, kak Fero beneran mundur dari publik figur ya?" Tanya Deva, lebih tepatnya hanya memastikan saja. Sebab Deva sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Beneran"

"Terus?"

"Terus apa?" Abil bingung dengan pertanyaan Deva yang ambigu.

"Ya terus dia kerja apa sekarang?"

Abil mengedikkan bahu, ia saja belum tahu dan niatnya membantu Fero mencarikan pekerjaan. Meski tak tahu apa.

Sebenernya, Abil paham. Deva juga mengiba pada kaka angkatnya, tapi terhalang gengsi mungkin atau apalah Deva ini.

Tidak aneh lagi dengan sikap Deva pada Fero, Abil lebih memilih mengaduk coklat panas yang ia pesan di salah satu kafe yang menjadi tempat pertemuan mereka. Katanya, untuk melepas rindu. Sebab selama libur, mereka jarang sekali bertemu. Kecuali reguleran di kafe yang tidak setiap malam adanya.

Ditengah jemari yang mengapit sebuah sendok mini, mata Abil justru ditarik paksa oleh cahaya ponselnya yang tiba-tiba menyala.

[Dek, papah mau bicara]

Begitu isi pesan yang masuk pada ponselnya, membuat Abil segera mengangkat benda pipih itu. Lalu membalasnya cepat. Pasalnya, Om Firman jarang sekali mengirim pesan se-serius ini.

[Papah perlu bicara sama adek dan mas bule itu]

Ini tidak biasa, hal langka pula. Setelah beberapa Minggu dari kejadian Fero dihajar habis-habisan oleh om Firman. Sekarang papahnya Abil itu malah meminta sebuah pertemuan.

[Kabari mas bule nya ya, nanti malam papah tunggu di rumah]

Bisakah Abil bertanya lebih banyak lagi apa tujuan sang papa? Tentu tidak. Abil hanya mengiyakan saja kemudian beralih room chat pada Fero demi memberi kabar pria itu.

Pintu yang samaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang