Bab 33 - Luluhnya om Firman

1.8K 292 105
                                    

Untuk ke sekian kalinya, Abil mengagumi Fero. Banyak alasan soal itu. Selain karena akademik, visual, kebaikan juga karena kelapangan dada pria satu ini. Bagaimana tidak, Abil mengetahui cerita dibalik kematian kedua orang tuanya yang tragis. Tapi Fero, menerima semua itu tanpa menaruh kebencian pada orang tuanya sama sekali.

Lihat saja, begitu rutin ia mengunjungi tempat yang ia sebut rumah orang tuanya. Begitu tenang setiap yang ia ucapkan pada kedua gundukan tanah bertabur bunga. Jika sisa kebencian pada kedua orang tuanya masih tersimpan, mungkin Fero tidak akan terlihat damai seperti sekarang.

Banyak manusia yang kesulitan berdamai dengan kematian, apalagi disebabkan karena problem pasangan. Tapi tidak bagi pria di sampingnya. Meski Abil tahu, mungkin dalam hati nya masih tersimpan kekecewaan serta sakitnya kehilangan.

Dia lelaki kuat yang pernah Abil kenal.

"Bil, ada yang mau disampaikan pada orang tua saya sebelum kita pulang?"

Setelah menjadi pendengar, Abil rasa tidak ada salahnya berinteraksi dengan dua gundukan tanah yang pasti akan mendengarkan Abil tanpa protes. Abil tidak pernah berada pada situasi menyedihkan seperti sekarang. Mengungkapkan semua cerita pada orang tersayang yang telah tiada.

Beruntungnya mengenal Fero, Abil jadi tahu. Begini rasanya ketika hati kecil kita tersentil saat melihat sekitar yang cobaannya jauh lebih berat lagi.

"Bil?"

Abil mengangguk, ia memajukan tubuhnya yang ditahan oleh tumpuan lutut.

"Hai om, tante. Kenalin aku Abil. Om dan tante jangan bosen ya, lihat aku dateng ke sini terus"

Fero tak tahan untuk tidak tersenyum mendengarnya.

"Tau gak sih om, tante. Anaknya om dan tante ini pengennya dipanggil mas. Padahal panggilan itu kedengarannya aneh buatku."

Anggap saja Fero tak ada di sini, sehingga Abil bebas mengadu pada orang tua Fero. Seandainya masih ada, Abil pasti dekat sekali dengan orang tua Fero layaknya anak sendiri.

"Kalo manggil dia pake sebutan mas, rasanya aku tuh deg-degan, kaya besok mau akad gitu.."

"Eh" suara Fero spontan terdengar.

Membuat Abil menoleh dan terkekeh, "hehe" ia tampilkan deretan giginya yang rapih.

"Om, tante. Abil minta izin ya, untuk selalu ada di samping mas Fero. Karena.."

Abil menoleh lagi, Fero juga ikut bingung menatapnya. Ia hanya mengedipkan matanya berkali-kali sebab Abil malah menggantungkan kalimatnya.

Ia kembalikan matanya fokus menatap gundukan tanah lagi, "karena.. mas Fero itu laki-laki terbaik yang Abil kenal" lanjutnya.

Diakui, dengan tulus. Kekaguman Fero memuncak drastis. Gadis ini hatinya terbuat dari apa? Sampai tak henti membuat Fero bersyukur setiap kali melihatnya. Bukan hanya kecantikan yang ia miliki, tapi juga ketulusan yang bisa Fero rasakan.

"Kalo gitu, Abil pamit ya om, tante. Soalnya diliatin terus sama mas Fero. Abil jadi gak enak." ia menyindir, lalu segera bangkit. Kali ini yang salah tingkah bukan Abil tapi Fero. Ia kira, gadis itu tidak sadar saat diperhatikan.

Sebelum beranjak, Fero sempatkan mengusap dua tempat keabadian orang tuanya. Lalu mengecup nisannya bergantian.

Ia lalu menyusul Abil yang sudah berjalan lebih dulu.

Hari memang sudah sore, sudah seharusnya Abil pulang. Ia mengantar Fero ke sini juga menggunakan mobil Fero, jadi Abil harus kembali ke kampus untuk menjemput motornya di sana. Tak masalah, sebab dari pemakaman itu melewati kampus sebelum ke rumahnya. Dan pastinya, Fero akan setia mengantar Abil lagi.

Pintu yang samaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang