Tidak tau caranya belajar menerima, bukan berarti lupa caranya melanjutkan langkah kaki. Meski berat, dan semua kegiatan justru berpotensi mengembalikan bayangan kebahagiaan bersama Fero.Pada akhirnya, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah melanjutkan perjalanan hidup.
Karena dalam hidup ini, ada seseorang yang selalu membuat kita ingin bersamanya, tapi justru kita harus relakan itu.
Meski memang tak akan mudah, tapi itu membuat kita menerima pahitnya pelajaran dan mengubah cara pandang kita pada kehidupan.
Yang awalnya masih bisa tertawa riang, bertukar lelucon, mengobrol santai, saling tatap menatap lekat, melempar senyuman hangat. Lalu beberapa jam kemudian, hanya isakan tangis yang terdengar juga lelehan air mata yang tak henti. Secepat itu kebahagiaan berlalu?
Meski tak terima, tapi Abil sadar. Ia tak berhak menuntut apa-apa.
"Saya gak akan janji, tapi saya berusaha bil. Untuk memperjuangkan kamu."
"Dan perjuangan itu sudah berakhir.." monolognya, saat ucapan Fero terngiang kembali di telinganya.
Matanya kembali memanas, setelah tertidur cukup pulas, karena bantuan obat. Tubuhnya kelelahan, batinnya tertekan. Abil tak yakin ia akan baik-baik saja untuk beberapa hari ke depan atau bahkan selamanya? Meski tuntutan kampus memaksa agar ia datang secepatnya pada tempat yang hanya akan mengembalikan bayangan Fero di sana.
Satu minggu sudah, ia tetap tak punya cara untuk berani datang ke kampusnya.
Punggungnya yang rapuh, ia sandarkan pada sanggahan tempat tidur. Abil memeluk lututnya sembari menatap jendela yang memang dipasang lurus dari tempat tidurnya.
Matahari yang seolah tersenyum ke arahnya justru bukan memberi semangat, tapi menawarkan rindu pada bayangan wajah yang tiba-tiba tergambar di atas sana.
Rindu?
Lalu apa obatnya?Satu minggu mendekam di kamar saja dan rasanya suntuk. Abil hanya tidur, makan dengan terpaksa, beribadah hingga akhirnya menangis terus sampai tidur lagi.
Ponselnya bahkan tidak ia buka sama sekali. Abil belum siap melihat salah satu aplikasi yang membuatnya menyematkan nama Fero di atas semua pesan dalam ponselnya.
Abil belum siap, melihat profil pria itu lagi. Abil belum siap melihat obrolan terakhir mereka dalam sebuah pesan.
"Aku gak mungkin gini aja selamanya kan?"
Tiada jawaban, ia hanya seorang diri di kamarnya.
"Apa aku──"
Sepertinya ia cukup siap untuk kembali melihat dunia luar. Bahkan dengan cepat Abil membersihkan tubuhnya, memilih pakaian terbaik dengan tema dark, memoleskan sedikit lip balm tanpa memoleskan make up.
Ia tak cukup sabar untuk berhadapan lagi dengan angin luar setelah satu Minggu hanya merasakan angin dari AC. Yang menempel di dinding.
"Dek, mau kemana?" Tanya Caca sedikit panik, saat melihat Abil keluar dari kamarnya.
"Mau ke kampus" jawabnya tanpa membalas tatapan Caca yang berusaha mengekorinya sampai bawah.
"Biar kakak antar ya dek.."
"Gak usah kak, aku udah ga papa ko, aku juga bisa sendiri" tolaknya berusaha meyakinkan.
Abil mengeluarkan motornya, menyalakan mesinnya dan menunggu sampai mesinnya sedikit panas.
"Dek, kakak antar aja yuk, Kakak gak sibuk kok"
"Gak usah kak, aku sendiri ajah ga papa" Abil tak akan luluh dengan tawaran Caca meski terdengar memaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu yang sama
RomanceKisah antara dua orang manusia, datang menggunakan dua pintu masuk yang berbeda. Kemudian berada dalam satu ruang yang sama. Saling mengubah perasaan, keadaan juga suasana. Namun, sebagai manusia, tentu keduanya memiliki kesadaran penuh akan ketidak...