Bab 11 - Resiko dibalik tekad

1.5K 246 29
                                    

Berada di halaman rumah yang cukup luas, Fero menepati janjinya. Bahkan sebelum jarum jam menunjukan pukul tujuh. Ia datang lebih awal. Bukan, bukan karena ingin segera bertemu gadis yang akan dijemput olehnya. Tapi karena menghindari ocehan Liyan yang tak kunjung henti.

"Tumben lu mandi pagi pagi Fer"
"Wangi bener, pake parfume sebotol lu? Mau kemana sih?"
"Makasih Fer, karena lu gak jadi on air. Gua jadi ada momen bareng Caca lagi. Ya meksipun abis ini Lo dihujat sih pasti"
"Fero lu ga jawab gua mau kemana? Pagi bener berangkatnya"
"Tuh mobil tumben di bersihin, biasanya buluk kaya setahun ga dipake"

Tak ada satupun ucapan Liyan yang Fero tanggapi. Sebab pria itu berkata seenaknya namun nyata adanya. Fero tak pernah se-semangat ini biasanya. Ia tidak peduli mobil navy-nya sudah berubah menjadi abu-abu oleh debu, ataupun tubuhnya yang hanya dimandikan semaunya saja.

Tapi pagi ini, bukti adanya perubahan. Fero mandi sebelum subuh. Setelah subuh, lanjut memandikan si abu-abu lalu kembali lah warna navy-nya itu. Fero juga menaruh pewangi di dalam mobilnya. Seperti akan disinggahi tuan putri, ia seolah supir pribadi yang akan menjemput tuannya.

Bibirnya yang sedikit tertarik melengkung kesamping itu ia netralkan saat seorang pria paruh baya keluar mengenakan kemeja dibalut jas hitam di luarnya.

Menarik perhatian seorang bapak-bapak sepertinya lebih menantang bagi Fero.

Meski sejak pertama bertemu pria itu, ia memang sudah mencair walaupun agaknya sulit memberikan izin pada lelaki manapun untuk membawa putrinya keluar, termasuk pada Fero kala itu. Tapi ia punya harapan, bukankah harapan besar pagi ini juga menunggunya?

Akan Fero pastikan, pagi ini ia juga berhasil mendapatkan izin om Firman untuk membawa lalu mengantar Abil ke kampusnya.

"Eh, mas bule tampil amat  sudah ada di depan rumah om"
Kalimat panjang pertama saat Fero menyalami punggung tangan pria yang kini ia temui.

"Iya om, kan semangat pagi!" Fero mengepalkan tangan, bak pahlawan yang sedang membangun kesemangatan bersama pasukannya.

"Bagus bagus, anak muda kaya gini keren nih."

"Terimakasih om, om juga keren. Pagi pagi sudah mau pergi" balas Fero mengimbangi.

"Oh tentu, tua-tua gini semangat om masih semangat nya anak muda nih" akunya seraya mengusungkan dada dengan sedikit menarik kerah jasnya, menyombongkan diri sedikit. Tiada salahnya kan.

Fero terkekeh kecil mendengar Om Firman mengakui kesemangatan yang meletup-letup dalam dirinya. Patut sekali Fero acungi jempol sebab dengan begitu, Om Firman seolah memberikan contoh pada Fero. Setua apapun, semangat tidak pernah hilang. Begitu kiranya.

"Ngomong-ngomong, mas bule mau jemput siapa? Soalnya anak gadis om ada dua"

Ah, Fero hampir lupa tujuannya meminta izin. Saking asiknya mendengar ocehan om Firman yang tiada henti.

"Mau jemput Bila om"

Untuk sepersekian detik, Om firman terlihat mengerutkan dahi. Tapi akhirnya, ia menyadari sesuatu.

"Oh iya, Bila tuh nama khusus dari mas bule doang nih. Om sampe bingung Bila itu siapa" jujurnya. Membuat Fero tersenyum lagi dan lagi.

"Abil ada di dalam, mau om panggil?"

"Gak usah om, saya tunggu diluar saja. Mungkin sebentar lagi . ."

"Adek datang!" 

Sontak semua mata tertuju pada gadis yang ditangannya penuh buku dan tersampir tas di pundaknya. Dengan senyuman ceria yang tak pernah luntur. Selalu membuat orang yang melihatnya ikut menyunggingkan senyum juga padanya.

Pintu yang samaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang