"Ini hijabnya rapih kan ka?"
"Ear monitor aman!"
"Kode 1 berarti naikin volume musiknya ya!"
"Keluar stage dari arah kiri ya mba Caca!"Seperti biasa, kebisingan di belakang panggung sebelum on air dimulai. Fero memilih diam tidak ikut menimbrung sebab kurang paham harus membantu dibagian mana. Kembali ia melangkah ke belakang setelah melihat masuknya Caca ke atas panggung hiburan.
Fero hanya sedang memantau jalan untuknya yang akan ia lewati dan memastikan dirinya aman dari sentuhan fans yang sudah ramai di dalam studio. Ia akan mengikuti bagaimana Caca menyapa para fans nya. Mengingat Fero adalah artis baru yang akan terjun menjadi idola Indonesia.
"Fer, segmen dua siap ya!"
Fero yang semula berjalan menunduk akhirnya mengangkat kepala juga saat sang manager kembali mengingatkan."Siap siap ka!"
Sang manager mengacungkan jempol dan kembali berlalu meninggalkan Fero. Dari arah yg berbeda ia berjalan lagi. Telinganya tanpa sengaja mendengar deringan ponsel dari dalam ruangan Caca. Ya, itu nada dering ponsel Caca dan Fero hafal betul.
Sepertinya, Caca menyimpan ponsel di dalam ruangan tanpa menitipkan pada managernya. Mungkin karena banyak hal privasi di dalamnya. Tapi bukan Fero namanya jika melewati nya begitu saja. Tingkat penasaran Fero terbilang tinggi. Apalagi, ia sudah merasa termasuk org terdekat Caca. Sehingga tidak cukup bersalah jika hanya melihat siapa penelpon sahabatnya di waktu yang tidak tepat ini.
"Adek?" Lirihnya membaca nama yg menyala dari layar ponsel milik Caca. Setelah berhasil memasuki ruangan gadis itu, Fero menemukan ponselnya tergelatak begitu saja di atas meja.
Sayangnya, saat Fero hendak mengangkat panggilan itu, ponsel Caca tidak bisa sembarang dibuka. Butuh beberapa angka untuk menerobosnya.
Selama mengenal Caca dari zaman SMA, Fero tidak pernah sekalipun menanyakan soal ponsel gadis itu. Tidak pernah pula ada rasa penasaran pada gadis itu. Layaknya teman biasa, pure teman dan tidak pernah lebih.
Namun hal itu Fero sesali sebab karenamya, malam ini Fero jadi tidak bisa mengangkat telpon dari Abil sembarangan.
Ia mencoba memasukan tanggal lahir Caca tapi nyatanya gagal. Artinya, itu bukan angka yang tepat.
Entah kebetulan atau memang bisikan semesta, Liyan berjalan melewatinya saat Fero baru sjaa membuka kembali pintu ruangan Caca. Alhasil, ia menarik ujung kaos Liyan sehingga pria itu berada di hadapannya sekarang.
"Sandi hp nya Caca apa yan?"
"Hah? Buat apa?"
Fero tidak lagi berbicara, kini ia mengangkat tangannya dan menunjukan maksud dari pertanyaan tadi untuk apa.
Fero tentu paham, ada panggilan masuk dari adiknya Caca, itu sebabnya Liyan tersenyum penuh demi menggoda Fero yang terlihat semangat sekali demi mengangkat panggilan bertuliskan dari 'adek' itu.
"Kalo gak salah sih tanggal jadian gua sama dia"
Bukan, bukan ucapan spontan. Setahu Liyan dulu memang begitu adanya. Tapi itu dulu, buktinya saat Liyan menyebutkan tanggalnya dan Fero menuliskan beberapa angka itu tetap saja kuncinya tidak terbuka.
"Kalo salah, gua juga ga tau Fer" jawab Liyan sedikit lemas. Karena pada kenyataannya, Caca benar-benar berusaha melupakan hubungan mereka.
Entahlah sinyal dari mana, otak Fero bekerja dengan cepat saat ini. Mengingat hubungan Liyan dengan Caca sebagai mantan kekasih. Fero juga ingat betul bagaimana ekspresi Caca saat menceritakan sosok bang Dim padanya.
"Berarti tanggal lahir bang Dim nih" tebak Fero membuat bola mata Liyan membulat sempurna.
Bukan karena Fero hafal tanggal lahir pria itu, jelas itu hal biasa. Fero memang sudah beberapa kali belajar soal musik dengan bang Dim, mulanya Fero juga membaca CV bang Dim sebagai song writters. Itu sebabnya tanggal lahir pria itu masih diingatnya dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu yang sama
RomanceKisah antara dua orang manusia, datang menggunakan dua pintu masuk yang berbeda. Kemudian berada dalam satu ruang yang sama. Saling mengubah perasaan, keadaan juga suasana. Namun, sebagai manusia, tentu keduanya memiliki kesadaran penuh akan ketidak...