Bab 16 - Kesadaran Fero atas masa lalunya

1.4K 221 17
                                    

Bosan.

Dua hari terakhir ini tidak diganggu oleh notifikasi yang isinya banyak pesan dari satu orang. Siapa lagi jika bukan Deva sahabatnya. Gosip apapun yang Deva punya, biasanya selalu dilaporkan pada Abil. Cerita apapun, meski tidak penting sekalipun selalu di sampaikan pada Abil.

Hal sepele, seperti ungkapan . .
[kangen]

Atau pertanyaan . .
[kamu lagi apa billl?]

Selalu masuk mengisi ponsel nya jalur WhatsApp yang hanya ramai oleh satu orang saja, sayangnya dua hari terakhir ini tak ada.

Deva tak kunjung menghubunginya. Abil juga heran, bagaimana bisa Deva tahan tidak menghubunginya selama dua hari terakhir ini.

Ditambah lagi dua hari libur kuliah, jadi mereka tidak bertemu lagi setelah Abil menginap di rumah Deva.

Sebenarnya, Abil ingin sekali menghubungi Deva terlebih dulu, ingin memperbaiki silent treatment yang sedang berada di antara mereka.

Tapi Abil merasa gengsi. Ia tidak salah di sini dan Deva pun tidak bisa disalahkan. Meski semua berawal dari perdebatan yang Deva ciptakan. Melarang Abil menyukai kakak angkatnya. Hal itu tentu tidak bisa Abil setujui saja. Awalnya membiarkan Deva marah dan mendiaminya. Tapi lama kelamaan, Abil rindu juga pada sosok sahabatnya itu.

Untungnya, hari ini kuliahnya kembali berjalan seperti biasanya. Sepertinya akan Abil turunkan gengsi itu demi memperbaiki hubungan nya dengan Deva dan tentunya membicarakan soal Fero lagi.

oh iya, bukan hanya dengan Deva, Abil tidak bertemu. Dengan Fero juga sama. Pria itu menghilang entah kemana dan apa kesibukannya. Yang Abil tahu, Caca tidak berkegiatan dan hanya mengisi waktu luangnya untuk pergi bersama bang Dim. Dan katanya akan belajar menulis lagu. Alasan yang itu-itu saja setiap kali meminta izin pergi bersama bang Dim pada papahnya.

Benar atau tidaknya, Abil juga tidak tahu.

Jika Caca saja punya waktu luang, berarti Fero juga sama. Pikir Abil begitu. Mereka satu profesi, satu label musik juga. Tapi bisa jadi kegiatannya berbeda.

Mungkin begitu.

"Motornya udah dipanasin sama papah dek, mau jalan jam berapa?"

Suara itu membuat Abil terperanjat kaget dan langsung bangkit setelah lama memandangi wajahnya pada kaca rias. Ternyata seorang wanita menggunakan kerudung rumahan sudah berdiri di ambang pintu saja.

"Sekarang mam, aku jalan sekarang nih" jawabnya buru-buru merapihkan buku yang akan di bawa dan sudah disiapkan di atas meja.

Wanita paruh baya itu tersenyum lalu menunggu Abil berjalan bersamanya ke bawah.

"Belum sarapan loh, mama bekalkan aja ya?"

Abil menggeleng cepat "nggak mam, nanti aku sarapan di kampus aja bareng Deva."

"Ya memangnya kenapa bawa bekal dari rumah, nanti kan bisa dimakan bareng Deva juga"

Abil menghela nafasnya malas, "Abil gak mau ribet mam . ."

Tante Nani hanya manggut-manggut saja tak bisa memaksa meski khawatir pastinya. Putrinya ini belum sarapan, pasti perutnya kosong. Berangkat di pagi hari mengendarai motor pula, khawatir masuk angin.

"Yasudah . ."

"Iya, Abil berangkat ya mam" pamitnya, mengecup punggung tangan sang mama.

"Iya nak, oh ya. Tadi papah titip salam sebelum berangkat. Katanya semangat adek, jaga diri baik-baik!"

Abil mengacungkan jempolnya ditengah tangannya yang sibuk mencantolkan kaitan helm. Terkadang, papahnya memang berangkat lebih pagi darinya. Super duper sibuk memang sang pemilik rumah sakit itu.

Pintu yang samaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang