Bab 5 - First than others

1.9K 265 45
                                    

"Izin ajak Bila jalan om"

Dengan lantang juga tanpa ragu, Fero mengatakan itu setelah dirinya dipersilahkan duduk di depan meja kerja papanya Abil.

Pria yang Fero panggil 'om' itu menatapnya penuh selidik. Baru kali ini, ada pria berani mengajak putrinya keluar. Setelah pria itu berani meminta izin masuk ke dalam ruang kerjanya.

"Kamu mau bawa kabur anak om ya?" Tudingnya membuat dahi Fero berkerut.

"Loh, nggak gitu om. Saya mau ajak Abil jalan keluar, kan ini hari libur om──"

"Kamu yang mau atau putri saya yang minta?"

"Saya yang ngajak Bila om, soalnya saya lihat Bila murung di depan kolam tadi" jelas Fero semakin menantang bagi papahnya Abil.

"Jadi, kamu mau berusaha bikin putri saya bahagia gitu? dengan cara bawa dia keluar rumah?"

"Iya om"

Rahang papanya Abil terlihat mengeras, entah itu perasaan Fero saja atau memang kenyataannya seperti itu. Fero rasa, papanya Abil memang type papa yang sulit mengizinkan putrinya keluar. Tapi . . Caca selalu mudah kemanapun?

"Saya gak terbiasa kasih izin siapapun buat ajak putri saya keluar rumah. Tapi kalo putri saya yang minta sendiri, akan saya pertimbangkan"

"Oke om, saya panggil Bila . ."

"Aku disini pah!" Abil membanting pintu hingga menampakan dirinya di sana. Membuat dua pasang mata itu menatap ke arahnya yang berusaha tersenyum meski jantungnya tak karuan. Ia takut menghadapi papanya sendiri, takut sekali jika Fero justru dimarahi.

Abil perlahan berjalan mendekat ke arah meja sang papa, kemudian ia beranikan diri untuk melihat papahnya. Menunggu papahnya bicara padanya.

"Adek, apa bener adek murung?"

Abil bingung menjawab apa, yang ia rasa, kepalanya refleks mengangguk.

"Kenapa?" Papahnya bertanya lagi. Intonasinya lebih lembut daripada berbicara dengan Fero tadi.

"Karena . . Aku kesepian aja sih pah. Bosen juga dirumah"

"Terus adek mau di ajak jalan sama cowo bule ini?"

Cowo bule?
Abil tanpa sadar melihat wajah Fero seketika sebelum ia menyadari tindakannya itu salah. Karena sangat memalukan, apalagi saat mata mereka tak sengaja berpapasan.

"Eum, mm──mau pah"

"Kenapa ga bilang papah ajah kalo adek bosan, minta ditemenin jalan?" Papahnya memprotes. Seolah dirinya tidak berkegiatan saja sampai bisa menemani Abil keluar.

"Papah kan sibuk kerja!"

Seketika papahnya mengalihkan tatapan pada leptop di hadapannya.
"Iya juga sih" jawabnya membenarkan.

Bukan tidak mau menemani putrinya, tapi ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya saat ini.

"Jadi gimana pah? Ka Fero boleh ajak aku keluar?" Tanyanya lagi. Khawatir papahnya lupa dengan pertanyaan-nya semula.

Dari leptop, bola matanya bergulir kembali pada wajah Fero yang masih tetap tenang. Tidak gugup dan santai.

"Kamu mau bawa anak saya keluar naik apa? Motor atau mobil?"

"Naik kendaraan umum om"

Sontak mata pria yang Fero panggil 'om' itu membulat. Terkejut mendengar jawaban yang Fero lontarkan. Selama ini bahkan dirinya tidak pernah mengenalkan Abil dan Caca pada kendaraan umum, ia tidak pernah rela, putrinya berdesak-desakan dengan banyak orang di dalam kendaraan seperti itu.

Pintu yang samaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang