14

6.9K 274 15
                                    

Tiga hari terhitung hari ini, Belvina berhasil hidup tanpa North serta bantuannya. Dari hal sekecil 'insomnia', Belvina berhasil tidak menghubungi North untuk sekedar menemani malamnya, atau meminta trik agar tertidur cepat. Lalu hal besar, seperti 'kecemasan berlebih' yang kerap kali mengganggunya. Belvina berhasil menemukan cara lain, cara yang tidak harus melibatkan North di dalamnya.

Dengan boneka voodo.

Belvina tinggal menusuk-nusuk boneka itu dengan jarum tumpul sampai rasa cemasnya menghilang. Seram memang, tapi tips dari Dere itu ternyata sangat berhasil.

Dan hal yang paling tidak Belvina sangka adalah cermin-nya benar-benar masih terpakai satu sejak terakhir kali North membelikannya sebanyak satu dus. Tidak ada yang pecah, tidak ada hal yang mengharuskannya untuk melemparkan benda cantik, mungil, serta penting itu. Hidupnya damai sekali tanpa tingkah jahil nan menyebalkan dari Kompas Sesat.

Namun hampa.

Belvina tidak lagi merasakan pelukan North kala dirinya merasa sedih. Ia tidak lagi mendengar suara menyebalkan North, juga kata-kata sok bijak penuh nasihat dari pria itu. Sejujurnya, Belvina sedikit rindu.

Rindu melempari North dengan cerminnya, rindu mengumpati North, rindu berkelahi dengan North yang selalu berakhir dengan sikap mengalah pria itu.

Tapi Belvina harus tetap menguatkan tekadnya. Ia harus bisa hidup tanpa bergantung pada siapapun. Jadi jikalau suatu saat nanti North telah berhenti menjaganya, dan memutuskan untuk menjauh dari hidupnya juga. Setidaknya Belvina sudah bersiap lebih awal, agar tidak terlanjur kecewa dan merasa terbuang. Mungkin perasaan itu nanti akan tetap ada. Namun, Belvina yakin tidak akan sesakit itu jika hatinya sudah bersiap.

"Bel?"

Jentikan jari Dere di depan wajahnya membuat Belvina mengerjap, terbangun dari lamunan yang tidak ia sadari. Gadis itu mengedarkan pandangannya, lalu berhenti pada satu titik. Pada North yang tengah mengobrol dengan teman perempuannya, kalau tidak salah namanya Ita. Satu kelas dengan North.

"Kalo gak kuat nyerah aja gak sih? Gue tau ini susah buat lo karena dari kecil kalian selalu bareng. Dan dari pengamatan gue, lo udah jatuh cinta sama North."

Mendengar itu, Belvina berdecih. Ia yang tadinya fokus pada North, kini beralih menatap Dere yang masih menyantap bakmie nya dengan santai setelah menyampaikan pendapatnya.
"Gue cuma mau tau. Seberapa besar pengaruh North di hidup gue. Ternyata gak sebesar itu, gue masih bisa hidup kok. Gue masih bisa tidur. Gue masih bisa nenangin diri gue sendiri. Gue masih bisa keluar tanpa harus minta izin sama dia. Dan yang paling penting, diantara kita gak mungkin ada rasa cinta."

"Gue berpengalaman banget soal cinta, dan gue rasa North itu cinta sama lo. Percaya deh." Kini Jeni yang menimpali. Gadis yang duduk di sebelahnya itu memberikan senyuman manis saat Belvina menatap tak suka ke arahnya.
"Trust me, Bel. Di antara kita bertiga, gue yang lebih berpengalaman. Kalian berdua itu gue akui banyak gebetannya, tapi soal cinta? Nol besar!"

Benar sih, walaupun Belvina dan Dere gemar sekali menggombal sana sini. Mereka pada kenyataannya hanya suka paras tampan dan kantong tebal dari para pria yang mereka incar. Cinta? Belvina hanya tau kalau cinta itu seperti cinta Papi pada Mami. Bicaranya lembut, mengalah, selalu memenuhi hampir semua permintaan orang yang dicintai. Memangnya North begitu? Pria itu saja sering membuatnya naik pitam, bahkan kadang kata-katanya kasar sekali. Mengalah? Sering sih. Lalu memenuhi semua permintaannya? Tidak semua. Bahkan kebanyakan pria itu selalu melarang keinginannya, mulai dari makan pizza, memakai dress ketat, keluar malam, main dengan kucing, dan masih banyak lagi.

"Lo berdua picek kali. Lo gak liat apa mukanya North aja kek muak banget ngeliat gue." Ucapan Belvina dihadiahi toyoran dan umpatan dari kedua temannya.

Damn, He's Hot!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang