Ketukan pantofel menggema pada ruangan yang jauh dari kata ramai, juga terang. Langkahnya tegas, mengetuk setiap detak dengan keras. Menyatakan hardik tanpa kata yang mampu menghancurkan hidup manusia lain, terutama pada manusia yang berani membunuh kepercayaannya.
Dwiartha Hardikusumo.
Dialah sang pemilik langkah itu, pemberi cekam pada suasana temaram. Tatap tajamnya tertuju pada dua penghianat di hadapannya. Terikat pada kursi. Dengan biru juga darah yang mengisi tubuh mereka.
"Kamu memiliki kaki tangan lain, Karyo." Ungkap Dwiartha memberi pernyataan.
"Istri kamu. Mau saya bunuh dia sekarang, jika saja saat ini, saya sudah menemukan perantara di antara kalian dan pihak mereka. Jadi, katakan sekarang. Siapa saja yang menjadi perantara?"Bungkam. Keduanya memilih bungkam. Pilihan yang membuat cekam itu semakin terasa.
Tatapan Dwiartha beralih pada seorang pemuda di sebelah Karyo.
"Heksa? Tidak ingin menolong ayahmu?" Nadanya santai sekali. Berkebalikan dengan tindakannya yang kini tengah menggenggam sebuah pistol di tangan kanan. Sedang tangan yang satu ia masukkan ke dalam saku. Pistol itu belum teracung sama sekali, hanya menggantung di genggamannya."Lalu membiarkan Mama saya anda bunuh?" jawabnya, dengan gurat ketakutan yang coba ia sembunyikan. Namun tentu saja, gagal. Nyawa Heksa sedang di ujung tanduk sekarang, mustahil dirinya bisa bersikap tenang.
"Saya memberi pilihan. Terserah kamu ingin memilih siapa."
Decihan sinis terdengar dari Karyo. Pria yang wajahnya penuh lebam itu menatap Dwiartha dengan tajam. Menantangnya.
"Membunuh kami tidak berarti apapun bagi mereka, Artha. Lagipula, apa untungnya kamu melindungi mereka? Mengorbankan segalanya untuk Dimitre? Bodoh sekali.""Dulu saya juga melindungi kalian. Saya melindungi setiap orang yang saya pedulikan. Namun benar kata Dimitre, tidak semua pihak yang saya pedulikan tahu caranya berterimakasih, atau sekedar tahu diri." Dwiartha terkekeh pelan. Menatap kedua manusia itu dengan tatap angkuh.
"Saya melepas tangan saya, usahamu bangkrut karena kebodohanmu sendiri. Sudah saya bilang, kamu tidak cocok berada di kursi pemerintah. Otak bodohmu mudah dipengaruhi. Lalu saat semuanya semakin memburuk, kamu malah menyalahkan saya dan berpindah pihak. Menghianati kami."Pistol itu kini teracung. Mengarah pada Heksa. Meski tatapannya masih ia tujukan pada Karyo.
"Anak itu saya bawa kemari karena dia berusaha menjebak putri saya lagi. Meski melalui istrimu. Padahal North sudah berbaik hati dengan hanya mengirimmu ke panti rehab.""Saya tidak tahu apapun. Saya di panti, terkurung," jelas Heksa beralasan.
"Kamu si pemberi rencana, Heksa. Saya bukan orang bodoh yang bisa kamu tipu dengan wajah mengenaskanmu itu," ujarnya dengan nada dingin. Wajahnya datar, keras bersama amarah yang perlahan membakar toleransinya.
"Saya tidak akan berbaik hati lagi kali ini. Katakan segala yang saya tanyakan tadi. Jika sampai tidak ada jawaban darimu, dengan senang hati..."Dwiartha menekan ujung pistolnya pada atas paha Heksa dengan keras. Jemarinya menempel pada pelatuk, sedikit tekanan bisa saja satu peluru menembus kaki anak itu.
"Saya akan membuat kamu kehilangan satu kaki."***
Terdiam, bungkam, juga bingung. Mobil North sudah ia pakirkan dengan baik di rumahnya sejak satu jam yang lalu. Namun di sebelahnya, Belvina hanya terdiam. Menolak untuk turun juga menolak untuk berbicara.
"Kita bicara lagi di dalam. Oke?" North kembali membujuk.
"Belvina?"Tatapan Belvina kosong. Pikirannya hanya berjalan pada tiap kejut yang baru saja masuk, padahal ia yang meminta untuk diberi tahu. Gadis itu mengatur napasnya yang mulai sesak. Menghindari tatap mata dari North.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damn, He's Hot!
Teen Fiction18+, be wise guys! Di mata Belvina, North itu menyebalkan, jahil, dan overprotective. Maka dengan ketiga pandangan itu Belvina melabeli North sebagai musuh besar yang harus selalu ia recoki tiap hari. Hingga Belvina menemukan North bertelanjang da...