Bulan berlalu musim, tinggal beberapa waktu lagi Belvina akan menyudahi pendidikannya di negeri sang ibu. Dan tentu saja, setelah pendidikan itu selesai, Belvina kembali ke negeri di mana ia dibesarkan. Bersama Giana dan Dimitre yang mungkin akan benar-benar menetap sebab Thomas telah mengambil perannya sebagai pewaris. Lalu mengenai Lee Yeon dan Louisa. Mereka tetap berpisah, dengan kesibukan masing-masing. Tentu mereka tidak melepas tanggung jawab, namun Belvina memilih untuk pulang nanti. Membangun karir di negeri sendiri. Sesuai dengan mimpinya.
Lantas bagaimana dengan North?
Pria yang tengah memangku dirinya itu melanjutkan studi di universitas yang sama. Mengharuskan Belvina menunggu lebih lama kebersamaan mereka nantinya. Menyebalkan. Namun di sisi lain Belvina bangga sekali dengan si pintar itu.
"Who is this?" North menunjuk figur laki-laki yang berada di satu frame foto polaroid yang Belvina abadikan.
Mereka tengah melihat-lihat beberapa potret yang akan Belvina selipkan pada album berjudul 'Exhausted', yang akan berisikan beberapa momen saat dirinya berada di London.
Belvina duduk di pangkuan North, membelakangi pria itu yang duduk di atas kursi, menempati ruangan yang Belvina jadikan tempat untuk belajar dan merancang desain.
"My crush. He's so handsome and kind." Belvina menyentuh figur itu dengan pelan. Laki-laki yang terlihat merangkulnya di potret itu bernama Willy, teman seangkatan. Bisa Belvina katakan bahwa laki-laki itu adalah teman-nya yang paling tampan.
"Your crush?" Ada nada tak suka yang kentara sekali, membuat Belvina semakin bersemangat untuk meledek sang tunangan.
"Yap. Cocok gak sama aku?" Belvina menolehkan wajahnya ke belakang, yang langsung berhadapan dengan pandangan tajam North. Ia tersenyum lebar, sedikit mendongak agar mampu menatap sepasang mata legam yang terlihat kelam itu.
North berdecih. Dengan gerakan pelan namun cepat, pria itu mengangkat tubuh sang gadis lantas membalikkan tubuh Belvina agar berhadapan dengannya. Ia rengkuh pinggang gadis itu dengan erat.
"Your crush, Belvina?" ulangnya lagi dengan seringai tajam.Namun bukannya mengelak, Belvina memilih untuk mengangguk dengan yakin. Terlihat senang dengan pengakuannya. Berbanding terbalik dengan tingkahnya yang melingkarkan lengan di leher North. Si centil yang menyebalkan itu kembali berulah.
"Dia banyak bantu aku tau, suka deh jadinya. Mana ganteng lagi." Belvina memainkan lentiknya pada kalung di leher North. Ia menarik benda itu keluar dari kerah kaos yang North pakai, beralih bermain dengan dua cincin pertunangan mereka yang dijadikan liontin.
"Namanya?"
Belvina mengerjap, sadar jika nada suara North benar-benar berubah. Ia mendongak menatap North yang juga menatapnya.
"Kalau tau namanya, mau apa? Kenalan?""Kamu tau apa yang aku lakuin ke mereka dulu?" North menjatuhkan jemarinya pada sisi wajah Belvina. Mengusap pelan di sana, menghantarkan asing akan sentuhannya kali ini.
"Apa?" Kernyit pada dahi Belvina tercetak jelas. Bertanya akan apa yang North lakukan, karena pada akhirnya North membuka percakapan tentang tanya yang dulu sempat Belvina layangkan namun tak pernah terjawab.
"Peringatan."
Lekat, pria itu menatapnya begitu lekat. Ibu jarinya kini bahkan menjelajah lebih, menyusuri bibir Belvina.
"Peringatan kayak apa?"
"Tebak." Seringai North terasa menghujamnya. Belvina bahkan sampai menelan ludah. Salahnya, karena telah membangkitkan amarah North di tengah-tengah rasa frustasi pria itu akan hubungan mereka yang akan terus berjarak hingga dua atau tiga tahun ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damn, He's Hot!
Teen Fiction18+, be wise guys! Di mata Belvina, North itu menyebalkan, jahil, dan overprotective. Maka dengan ketiga pandangan itu Belvina melabeli North sebagai musuh besar yang harus selalu ia recoki tiap hari. Hingga Belvina menemukan North bertelanjang da...