TB 33 - akhir dari bahaya

19 5 0
                                    

Seragam batik berlapis hoodie navy melekat. Devan sebelum berangkat sekolah mampir ke gang sebelah yang tidak terlalu jauh dari bengkel. Devan berjongkok memberi makan anjing liar hitam berukuran sedang yang lehernya diikatkan ke batang pohon. Lapangan voli terhampar luas dengan timbunan pasir kecokelatan dan jaring net lapuk. Devan mengedarkan pandangan ke depan.

Sarapan untuk Rika sudah tersaji seperti kemarin dengan nasi semalam dihangatkan. Sekali pun Rika masih belum bangun, sejak kejadian kemarin sore, Devan bertekad tidak mengganggunya.

Rika yang bagi Devan naif mengira utang bapak lunas dari uang tabungannya bertahun-tahun dikumpulkan hasil pertandingan taekwondo. Padahal Devan sudah berjanji tidak akan melepas jerih payahnya sekadar untuk membayar utang-utang tidak penting Bapak.

Jika harus mengingat dulu mereka lebih sering tinggal terpisah karena kesibukan sebagai atlet. Kemudian datang kejadian menimpa Bapak berujung berpindah-pindah tempat tinggal demi menghindari kejaran rentenir. Devan yang tidak banyak tahu. Rumah lama terpaksa di jual sebagai bentuk ganti rugi kepada para korban.

Satu kata paling lantang selama dua tahun terakhir terpendam di benak yang layak Devan teriakan dalam hati. Berantakan.

Mata anjing berbinar menghadapnya, Devan tersenyum simpul. Dulu hewan ini hanya anak anjing sekarat di pinggir jalan. Di temukan sebatang kara usai ditinggal pergi induknya akibat ditembak pemburu.

Keputusan merawat pun dilakukan Devan. Membawanya pulang, ditentang Rika, akhirnya Devan mengalah. Sekarang anjing kesayangan tampak gagah, dan bertugas menjaga lapangan dari jarak belasan meter di bawah pohon mahoni. Anjing ini tipe jinak. Berbaur dengan masyarakat. Anak-anak biasanya bermain dengannya.

Seandainya Rika juga menyayangi anjingnya. Pasti hewan yang berulang kali menjulurkan lidah dan bergerak-gerak di tengah keterbatasan akan senang sekali. Ternyata dirinya memiliki dua manusia disebut keluarga yang menyukai kehadirannya.

~

Samsak menggantung di ruang tengah rumah sasaran empuk melampiaskan berbagai emosi terkhusus saat bosan. Rika tidak pernah meminta tapi Devan berinisiatif, memasang samsak. Mungkin baginya sisa skorsing akan lebih bijaksana jika dihabiskan di dalam rumah daripada adik perempuannya kluyuran sampai larut sore.

Devan juga yakin, adik perempuannya tidak mungkin berubah pikiran dimana tiba-tiba menjenguk Bapak di kantor polisi. Rika dengan tangan kirinya meninju samsak yang dibeli Devan di toko sport. Kalau mereka harus kabur lagi dari kejaran preman, benar-benar rugi meninggalkan samsak tanpa pemilik. Devan buang-buang uang.

Peluh berceceran membasahi wajah. Napas memberat. Rika berulang kali menampar samsak menggunakan kaki secara bergilir kanan dan kiri. Tangan kirinya terkepal ke depan. Tangan kanannya mengayun di bawah kadang disembunyikan ke belakang badan.

Seandainya dapat berpikir jernih, tidak sudi dia sebenarnya lusa lalu melukai tangan kanannya yang berharga. Seperti sekarang, salah gerak saja nyeri hebat bukan main langsung mengutuknya. Rika hampir kehilangan keseimbangan berdiri, tangan kanannya refleks menghantam tembok di samping. Rika memekik.

Harusnya hari ini pelatihan. Harusnya tidak berantakan. Harusnya kemarin tidak ada keributan di sekolah. Rika bersandar pada dinding merosot lelah ke lantai. Duduk berjongkok dengan tatapan menaruh harapan.

~

"Mau ke ruang kepsek?"

Devan tidak menggubris. Mengategorikan Sekar sebagai penggemar berat yang mengganggu kenyamanan, Devan rasa tidak ada yang protes. Tujuh langkah lagi tiba di depan ruangan kepala sekolah. Devan mengetuk pintu, menyentuh gagangnya.

Tahan BantingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang