TB 53 - gue telah gagal

13 3 0
                                    

Menghela napas dari mulut. Mencangklong ransel sebelah pundak. Berdiri tegak di depan bengkel. Rika mengingat ucapan Aldo dan Doni. Mereka benar. Banyak yang berubah. Suasana lebih semangat. Terlihat banner terembus angin sore.

Dinding bangunan terbuat dari papan kayu, sepengetahuan masih polosan. Sekarang, lihat, setiap papan dengan papan di sebelahnya memiliki warna berbeda. Biru laut terang dan hijau tosca. Selingan. Rika menarik sudut bibir kanannya tipis. Tersenyum kagum.

Melanjutkan perjalanan kaki ke rumah dan sampai di depan pintu. Rika menyentuh gagang. Penasaran apa di kunci, tetapi Devan tidak di bengkel. Mendorongnya. Terbuka. Ada Devan di dalam. Sekilas melirik ke jendela bagian depan. Alisnya mengernyit. Di paku dua papan kayu memanjang.

Rika menggaruk pelipis yang seketika gatal. Kemudian, mengecek isi rumah. Tidak ada yang berubah. Hanya kaca jendela yang rupanya bagian dalam juga diperlakukan sama. Menuju gorden kamar tertutup setengah. Rika melihat gerakan tangan. Ya, Bang Devan.

Rika mengangkat gorden masuk kamar. Binar mata dan wajah antusias ingin mengejutkan mendadak luntur. Mata tertuju pada satu arah. Ada punggung terekspos di hadapannya.

Devan selesai memakai kaus dalam menoleh. Balik badan cepat menghadap Rika. Mematung satu detik, dan cepat-cepat meraih kaus polos di kasur. Semoga Rika tidak melihatnya. "Balik, kok, nggak ngabarin? Nggak nginap di rumah Aldo?"

Devan mencoba menghindar ketika Rika mendekat penasaran. Memaksanya balik badan dan menyikap kaus dalam dikenakan ke atas. Melihat punggung.

"Ngapain, Rik?" elak Devan menurunkan kembali kaus dalam. Rika dilarang mengamati.

Punggung ditampar keras. Devan memekik kesakitan. Badannya langsung menggeliat. Pukulan Rika luar biasa.

"Gue pengen lihat!" omel Rika. Meraba bekas-bekas luka garis di punggung Devan. Kegelapan yang tidak pudar.

Devan mendengkus menunduk. Memejamkan mata sebentar dan menelan ludah. Menggaruk tengkuk. Samar-samar ingatan berulang.

"Masih sakit?" tanya Rika.

Devan mengerutkan dahi. Ada yang tidak beres. Devan menghadap Rika berseru, "Kesambet setan halus mana lagi lo? Tumben perhatian. Habis dapat pencerahan di pusat latihan?"

Semakin curiga. Tidak ada tanggapan. Devan mengecek suhu di dahi Rika dengan punggung tangan kanan.

Rika berdecak. Menyingkirkan tangan Devan. "Gue tiga hari."

"Nggak lapar, kan? Malas masak," enteng Devan meninggalkan kamar, seraya menenteng kaus luar.

"Gue juga malas. Makan masakan lo." Rika melipat tangan.

Devan tidak tersinggung.

Gengsi perlu diutamakan. Rika melempar tas di kasur. Mengekor penasaran. "Woi, itu jendela lo apain?"

Devan sudah menduga. Sepertinya, larangan dilarang menginjak rumah sudah dilupakan. Devan menjawab santai pertanyaan. "Gaya modern."

"Modern?" Rika meringis. Adanya merusak pemandangan. Bentuk rumah jadi aneh.

Devan menyiapkan bahan-bahan. Ada tempe mentah. Mulai memasak.

Rika mengintip celah papan di bawah. Penasaran dengan kaca, pasti pecah. Sayangnya, kesulitan melihat. Rika mengeplak papan, menantang Devan.

Devan sedikit kaget. Menghidupkan kompor. Rika mengomel siapa yang memecahkan kaca. Devan pasrah memberitahu, "Di lempar batu sama preman nggak jelas. Mungkin ada masalah belum beres, tapi kita nggak tahu."

Tahan BantingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang