TB 74 - Bengkel Bang Devan

15 4 0
                                    

Devan berhasil membujuk Rika ikut pulang ke rumah. Apartemen itu tidak cocok untuk adik perempuannya. Bukan Rika yang membayar. Devan menemui Doni di taman kota. Rika tidak akan kembali ke sana.

"Kalau ATM gue nggak dibatasi orang tua, Bang. Gue sanggup bawa Rika di apartemen lebih bagus," jelas Doni.

Devan lega Rika dan Doni tinggal di kamar terpisah. "Lo boleh suka sama Rika, tapi gue sebagai abangnya nggak ngizinin lo suka sama Rika."

"Karena masalah kemarin, Bang? Gue udah menyesali perbuatan. Gue udah janji ke diri sendiri, janji ke Rika, buat berubah jadi lebih baik."

Devan menonjolkan pipi kanan dengan ujung lidah. Bocah satu ini keras kepala juga. "Saat lo nanti di sekolah baru, peluang lo suka sama cewek lain presentasinya gede. Rasa suka lo ke adek gue bakal berlalu gitu aja."

"Nggak, Bang. Bang Devan nggak bisa asal menyimpulkan," elak Doni.

"Gini aja, deh. Kalau lo emang sangat sangat suka sama adek gue. Jangan pernah muncul lagi dihadapan gue atau pun Rika. Adek gue lagi di tahun proses merenung. Pembuktian lo, nggak bisa cuma di nilai dari hari ini atau hari-hari kemarin setelah kekacauan yang kalian buat. Ngerti lo?" tegas Devan menahan diri menunjuk muka Doni.

Langit sedang cerah-cerahnya, tetapi tidak dengan perasaan Devan. Suasana hatinya seketika dibuat buruk. Devan meninggalkan kekacauan dan menyalakan mesin motor.

~

Kaki bergerak lincah di dalam air. Tangan mengayuh semangat membawa raga melaju lurus. Rika percaya selain taekwondo, berenang dapat menghilangkan kegundahannya. Kolam renang sepi pengunjung membuatnya leluasa bergerak seakan tempat milik sendiri. Rika datang terlalu pagi dan dia sengaja.

Rika beberapa kali mengeluarkan kepala ke atas mencari udara. Dia masih punya kesempatan menjadi atlet taekwondo. Tetapi, harus bersedia memulai lagi dari awal. Perjalanan, rintangan, berakhir penerimaan. Lebih baik berhenti. Rika akan belajar melepaskan, seperti kata bapak.

Kekalahan karena keegoisan adalah kesalahan. Rika berdiri di tengah kolam. Melepas kacamata renang dan menaruhnya di atas kepala. Kepercayaan yang sudah dibangun kemudian dihancurkan melahirkan kata terluka.

Rika ingin berpindah ke kolam sebelah. Yang kedalaman airnya sanggup menenggelamkannya. Rika naik ke daratan. Berdiri tegap. Memakai kacamata renang. Dalam hitungan tiga detik menerjukan seluruh badan dengan tangan mendarat lebih dulu. Byur!

Beberapa detik kemudian. Byur! Ada orang lain menceburkan diri di kolam sama dengannya. Rika berhenti berenang mengeluarkan kepala. Gaya berenangnya terlatih. Rika menunggu lelaki itu mengeluarkan kepala dan menampakkan wajahnya yang basah. Lelaki itu tersenyum ke arahnya.

"Nino!" seru Rika kagum.

"Apa kabar, Rika?" tanya Nino.

Pantas di sekolah Rika merasa samar-samar ada yang berbeda dari Nino. Postur tubuhnya seperti menjadi lebih terisi dan tegap. Namun Rika mengurungkan niat membahasnya. Nino tidak terlalu menonjolkan karena memakai seragam longgar. Dan semua berlalu begitu saja sampai di puncak krisis.

"Gue tahu, kok, lo pernah datang ke rumah. Maaf, ya, saat itu gue pikir ... lebih baik kita jangan bertemu dulu sampai semuanya kelihatan mendingan," jelas Nino.

Di tepi kolam dan mengibas-ngibaskan kaki di air. Saling mengobrol untuk mengurangi kesalahpahaman. Rika mencoba mengerti setiap kata yang dijelaskan Nino. Sebenarnya tidak perlu banyak bicara. Cukup kehadiran. Rika merasa tidak perlu sendirian lagi.

Tahan BantingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang