TB 46 - mengecat masa depan

21 5 0
                                    

Suara Sekar terdengar manja dan tegas. Perempuan itu meneliti bengkel. "Terakhir gue datang belum ada perubahan ...."

Tamu tidak diundang. Devan menghela napas bangkit dari kegiatan berjongkok untuk memeriksa mesin motor. Menenteng kunci busi, Devan melirik bingkisan kotak di atas dipan. Dua kali Sekar datang, tidak pernah dia dengan tangan kosong. Haruskah berterima kasih, padahal dalam hati tidak menyukai kemunculannya tiba-tiba seperti hari ini.

Jari telunjuk Sekar menyentuh dinding bengkel dari papan kayu. Mengecek debu. "Kusam."

Devan melempar kunci busi ke bawah, lalu berjongkok lagi. Di lakukan Sekar tidak perlu diambil perasaan. Fokus bekerja lebih prioritas.

"Tinggal di kasih warna, jadi cantik." Sekar mendekat meletakkan tangan ke jok motor. Mengawasi tanpa beban. "Van, bukannya tanpa bengkel lo masih bisa hidup?"

Devan benci motornya bermasalah, tapi mau bagaimana lagi. Mesin sedang ingin mogok. Tadi coba untuk dipanaskan, menolak menyala. Beruntung di waktu liburan sekolah, sehingga banyak waktu longgar. Devan mengotak-atik bagian lebih dalam.

Sekar terus berbicara, "Rika mengikuti jejak kakaknya jadi atlet nasional. Kalau dia winner kalian pasti hidup enak. Dapat bonus dari pemerintah."

Devan mengambil alat di wadah sampingnya. Motor yang sudah dijagrak dua kaki, mempermudah pekerjaannya untuk badan condong ke bawah motor. Memeriksa lebih dekat, sambil mendengarkan Sekar yang berisik.

"Soal hidup yang rumit, gue bisa terima. Bukan berarti gue menyerah, kan?"

Plang!

Kunci busi di tangan jatuh ke tanah. Dengan melenguh cemberut. Devan menegakkan kepala. Menahan diri. "Kalau lo berisik, mendingan pergi."

Sekar tidak menganggap serius. "Satu tahun lalu, gue tahu kenapa lo berhenti."

"Nggak usah sok tahu." Devan merapikan peralatan.

"Kalau lo suka sama orang, lo akan penasaran. Lo mulai mencari tahu, bagaimana dia menjalani hidup. Apa yang membuatnya tertarik. Apa yang dia benci," enteng Sekar.

Devan berjongkok memainkan obeng di antara jari jemarinya yang terampil.

"Lo boleh bilang ke ayah. Maksud gue kepala sekolah. Taekwondo bukan impian lo." Sekar menyunggingkan senyum. "Tapi ada fakta yang nggak bisa lagi lo sembunyikan dari gue."

Devan memejamkan mata sejenak. Kemudian melirik, melihat Sekar membungkuk ke arahnya. Devan kembali menunduk.

Sekar melanjutkan, "Taekwondo sebenarnya impian lo. Taekwondo menyelamatkan hidup lo."

Devan spontan berdiri tegap menyingkir dari hadapan Sekar. Meraih kain lap menggantung di paku dinding dan mengelap tangan kotor. Devan perlu menjernihkan akal sehatnya. Pergi ke dipan. Mengambil teko air dan gelas. Meneguk segelas air mampu meredakan haus.

"Gugup, Van?" jujur Sekar membelakangi melipat tangan.

"Lo pura-pura suka gue, Kar. Gue nggak peduli drama apa yang lagi lo mainin. Setop libatin gue kalau sikap lo semakin buat gue nggak nyaman." Devan menaruh paksa gelas.

Sekar mengatupkan bibir rapat. Menahan amarah. Membalikkan badan kemudian tersenyum. "Kata siapa pura-pura?"

"Lo sendiri yang bilang ke teman-teman lo." Devan menautkan alis menjelaskan. "Waktu kelas 11? Gue denger di kafe."

Sekar mempertahankan ekspresinya.

"Lo suka jadi pusat perhatian." Devan menambhkan. "Itu kenapa, dari kelas 10, lo terang-terangan tertarik sama gue. Di lihat semua orang di sekolah. Lo bilang, gue berbeda dari cowok yang lain. Versi Devan cuma satu di Laskar Angkasa."

Tahan BantingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang