TB 59 - salam kenal

12 3 0
                                    

Teman macam apa mendukung temannya mati di titik terendah, demi keuntungan pribadi. Rika tahu belum lama ini dari Halim, Devan awalnya hanya disuruh mundur tanpa kompensasi. Akan tetapi, Rika akui Devan rupanya pintar. Devan bercerita ke orang tua Halim dia tidak bisa mundur. Tanpa taekwondo beasiswa bisa dicabut. Devan butuh uang. Dia menolak pindah sekolah. Kemudian baru terjadi mediasi. Devan untung, meski dalam jangka pendek.

~

Bang Arif beli mobil minibus, motor gede, merenovasi rumah, dan pergi ke restoran-restoran berbintang. Devan tahu dia tidak memberi modal. Namun, dia ikut berkontribusi buat kemajuan usaha bang Arif.

Devan sakit hati seperti tidak dihargai. Menyarankan uang diputar lagi buat beli produk dan keperluannya. Bukannya, menghabiskan uang untuk kesenangan pribadi. Tidak masalah beli barang impian, asal pakai uang tabungan saja. Bukan menyentuh uang modal. Bisnis mereka masih perlu berkembang lagi. Devan akhirnya dipecat karena cerewet. Bang Arif pun sudah menemukan karyawan baru, yang menurut bang Arif lebih penurut.

~

Rika mengembalikan skateboard yang dia pura-pura pinjam lima hari lalu kepada pemiliknya. Peringkat terakhir paralel. Di depan kelas X-7. Kesan pertama peringkat terakhir kepadanya tidak senang, tetapi sungkan. Rika berbohong. "Untung gue dapat info. Satu-satunya murid Laskar Angkasa yang ke sekolah bawa skateboard cuma anak kelas X-7, ternyata lo orangnya."

"Katanya pinjam bentar, tapi sampai lima hari. Lo tau nggak dari kemarin gue datang ke kelas lo buat nagih ini, tapi lo malah nggak masuk."

Terang tidak masuk. Dispensasi. Santai dan masa bodoh. Rika menerapkannya sebelum meninggalkannya. "Ya, sorry. Baru sempat sekarang. Ikhlas, nggak?"

Sikap baru saja berhasil menarik pemilik skateboard untuk mengikutinya dan bertanya alasan meminjam. Target mudah tertarik. Rika perlu menyeret nama Aldo dan Nino untuk meyakinkan.

"Gue ikhlas." Peringkat terakhir paralel mengulurkan tangan kanan tanpa senyuman. "Nama gue, Lea."

Rika berhenti. Membalas uluran tangan. Juga tanpa senyum. "Rika."

Lea pelan-pelan tersenyum. "Salam kenal."

Ramah. Rika tersenyum dalam hati.

Lea menurunkan tangan. "Kalau boleh tau, kemarin itu ... lo ngapain dikejar-kejar?"

"Oh, gue ada jadwal belajar bareng sama mereka. Tapi, gue sibuk. Dari pada ditagih mulu, mending gue kabur." Rika menjawab.

Lea mengernyitkan alis. "Kalau lo sibuk, seharusnya mereka bisa ngertiin, dong?"

Rika tersenyum menang. "Kayaknya, nggak bisa. Lo pikir gratis?"

Berjalan lagi disusul Lea. Lea bertanya, "Maksud lo gratis?"

Rika mengeluarkan kartu nama dari saku seragam. Di berikan ke Lea. "Lo berani bayar berapa? Tertarik? Just call me."

Beres. Rika saatnya pergi.

Aldo dan Nino tidak ada di kelas. Berjalan lebih jauh, mendapati Joshua dan Doni duduk di koridor. Mata mereka bertemu dengannya, Rika berkacak pinggang menantang. Joshua menyeringai. Doni seperti Tugu Muda.

~

Bel pulang menyadarkan murid untuk segera mengusir lelah dan kantuk. Menyambut udara kebebasan, Rika mencangklong tas di pundak kiri tidak menemukan Devan di tempat parkir. Motor juga tidak ada di tempat biasa. Rika menoleh ke sana kemari. Mengecek ponsel. Devan memberi informasi.

Tahan BantingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang