Derit berisik kursi meja nyaris berserakan. Dua manusia yang di hafal betul para penghuni kelas sering adu argumen, pagi ini sedang melangsungkan adegan sengit tepat di jam setengah sepuluh. Devan mengangkat kaki kanannya lurus 90 derajat hampir dua sentimeter di depan dada Sam. Devan juga agak memiringkan badan ke kiri untuk menyamankan posisi berdiri dengan satu kaki.
"XII-5 nggak butuh ketua kelas sok banci kayak lo. Turun langsung aja ke matras," ucap Devan matanya mengiterogasi santai dari kejauhan.
Letih melawan fisik karena Devan terus-terusan menghindari serangan daripada melawan, Sam beralih melirik kaki Devan. Mengetahui itu, Devan mengikuti arah mata Sam. Devan menebak, Sam pasti bertanya kenapa jadi dia yang tersudut? Devan melihat Sam mengangkat setengah tangan, berniat menepuk tungkak kaki kanannya. Ada aura tegang bercampur benci. Nyaris tergenggam, Devan lebih dulu gesit menarik kakinya.
Beralih memutar badan ke samping kanan. Kaki kanan diturunkan dan kaki kiri diangkat. Devan terus maju, Sam terpojok punggungnya menempel dinding. Kaki kiri Devan sekarang yang mengambil alih posisi seperti kaki sebelumnya, lebih ke atas. Jauh lebih dekat sampai ujung sepatu Devan di sengaja menyentuh dagu si ketua kelas. Sam menggertak gigi, Devan melirik tegas.
"Beraninya sama cewek, sok paling ketua, padahal kinerja nggak keren. Ngapain, buang tugas teman-teman yang pernah merugikan nilai lo?" tanya Devan.
"Kalau ujungnya lo ikut campur, seharusnya buku tugas lo gue buang!" hardik Sam. "Berandal nggak pantas dapat nilai!"
"Buang!" titah Devan. Bersamaan dengan rasa kantuk tiba-tiba mulai mengganggu. Devan menguap lalu ditepuk-tepuk punggung tangan. Efek semalam begadang.
Sam yang mulai kehabisan ide, menatap benci. Takut memang ada, Devan boleh sulit dilawan. Tetapi mengingat siapa Devan, menumbuhkan keberanian yang salah. "Mana dulu yang koar-koar bakal jadi atlet nasional?"
Deg.
Devan menurunkan kaki, lama-lama pegal kalau dibiarkan.
Tinju mendarat. Mencuri kesempatan. Devan terhuyung. Sudut bibirnya perih. Sam mencoba meninjunya lagi tapi Devan buru-buru menghindar. Licik. Devan semakin menjauh, Sam di luar kendali. Teman-teman di kelas berseru, ada yang menonton senang, hingga teriak ketakutan.
Devan menahan diri kuat-kuat supaya tidak kelepasan, Sam kurang ajar. Devan masih ingin sekolah di SMA Laskar Angkasa, dia harus bertahan. Setidaknya, beberapa bulan lagi. Punggung Devan jatuh ke lantai, Sam bersiap melayangkan tinju dengan otot mata merah membara.
Situasi kian menegang. Menangkis menggunakan tangan yang bisa dilakukan Devan. Teman-teman di kelas tidak berguna, tugas mereka melerai dimana? Mentang-mentang yang ditantang atlet beladiri seolah tidak perlu dibantu.
"Atlet nasional sekarang banting setir jadi berandal sekolah?" tanya Sam kesulitan menembus pertahanan tangan Devan. "Poster muka lo di depan, mana? Kepala sekolah udah muak?"
Devan tersinggung. Dia cengkeram dan dorong kuat bahu Sam, gerak cepat membanting ke samping tubuh ketua kelasnya. Devan lebih marah. Mau sesabar apa pun, kalau masalah pribadi yang disentuh. Tidak terima Devan.
"Ngomong apa lo?" Sedikit lagi, tinjunya melayang ke wajah Sam.
"Udah, Van." Tangan Devan mendadak tertahan. Kemarahannya seketika pasang surut. Sentuhan kulit lembut perempuan lebih dulu menariknya kasar, membantunya berdiri dari samping. Devan mendongak, Sekar? Gadis itu dengan tegas menjadi penengah di antara pertikaian mereka.
Menjadi pahlawan sebelum masalah jauh lebih besar datang di hidupnya.
~
Menyentuh bibir yang baru diobati di klinik sekolah, seusai menghadap wali kelas dan mendengarkan wejangan. Devan menghela napas panjang. Lega sekaligus marah. Tidak melawan pukulan, hidupnya berakhir seperti biasa. Lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahan Banting
Fiksi RemajaDevan (18 tahun) punya adik perempuan namanya Rika (16 tahun). Devan punya cara sendiri untuk bertahan begitu juga Rika. Sampai akhirnya ada ambisi mengubah tekad. Devan takut gagal menjaga adiknya, sementara Rika takut waktunya berhenti karena terj...