Di mulai dari tawaran jasa ilegal yang berhasil menarik perhatian peringkat terakhir paralel untuk masuk dalam rencana. Berlanjut target tidak sengaja ikut campur dalam perselisihan perebutan tablet. Rika memperkenalkan Lea di perkumpulan kafetaria. Seperti Joshua pernah membawa Doni dan mereka menawarkan diri untuk bergabung bersamanya, Aldo, dan Nino. Menjadi teman dekat.
"Gimana ceritanya lo bisa dekat sama Rika?" tanya Aldo.
Joshua menerimanya, begitu juga Aldo dan Doni.
"Rika tiba-tiba ngajak gue masuk circle-nya. Dia meyakinkan gue, kalau join nggak ada yang bully gue di sekolah. Ya, gue terima. Lagi pula teman sekelas gue nggak suka gue di circle mereka sejak jadi peringkat terakhir paralel," jawab Lea tersenyum.
Perbincangan santai mengalir menjadi perhatian orang-orang di kafetaria. Bertukar tawa. Keseruan ada batasan. Menit berlalu. Berbalut gurau, Rika melarang Joshua mengajak Lea ke tempat malam dia biasa nongkrong di malam minggu.
Rika lega ketika Lea masih lugu atau memang pura-pura lugu menolak ajakan.
Mengenal Lea, Rika merasa gerakan peringkat terakhir paralel sulit terbaca. Dia tidak seperti orang putus asa, melainkan asyik, santai, dan masa bodoh. Segala kebencian terlontar di sekolah, tidak rendah diri. Dia malah terus membentengi diri. Menarik berteman dengannya. Namun Rika perlu waspada. Takut ditikung dari belakang.
~
Di kelas Devan ikut senang Brian membagi kebahagiaan diterima jalur rapor. Prodi kedokteran gigi terbaik di negeri. Betapa tenang perasaan Brian sekarang tidak cemas lagi memikirkan ke depan.
"Selamat, Yan!" ucap Devan menepuk pundak.
"Thanks, Van!" balas Brian.
Sementara sayup-sayup mendengar di kelas XII-2, Sekar kesal tidak diterima universitas impiannya. Dia mengeluh belum belajar sama sekali untuk persiapan ujian universitas.
Padahal pengetahun Devan, Sekar bimbel intens. Dusta kalau belum belajar. Walaupun masih sempat mengusiknya, Sekar tidak pernah absen bimbel. Brian yang bercerita, karena mereka di tempat sama dan Sekar paling menonjol di kelas.
~
"Pegangan!" tegur Devan menambah kecepatan motor.
"Tas lo, nih, nyempit-nyempitin!" Rika membonceng menyingkirkan tas selempang Devan yang memenehui jok belakang ke samping.
Fokus menyetir, Devan memindahkan tas ke depan. "Tas, doang."
Rika berpegangan di pinggang Devan, sebatas pucuk hoodie. Malas memeluk. Dikira orang-orang nanti mereka pacaran.
"Eh, Rik, pegangan model apa lo? Yang bener, dong!" Devan memergoki menarik kedua tangan Rika ke depan perut. "Nggak ada yang ngira kita pacaran. Gue ini abang lo, Dek, Dek!"
Rika mau muntah dipanggil 'Dek.'
Berhenti di lampu merah. Helm Rika membentur helm Devan. Rem mendadak menyebalkan.
"Apa kabar adik-adik?" Seseorang dari arah samping berseru.
Devan dan Rika menoleh terkejut. Dua pria berperawakan preman di dalam mobil kijang mencurigakan. Pengemudi memakai masker kain segitiga terbalik, satunya tepat di sebelah berbicara menurunkan masker. Dia menatap dan tersenyum misterius. Tampak kumisnya.
Devan membeku panik. Rika waspada menampar-nampar bahu berbisik. "Van, Van, Van, mereka ... pasti yang nodong gue di halte!"
Sepertinya mereka bukan yang melempar batu ke jendela rumah. Tanpa melihat dari depan, Devan tentu percaya sekali, karena aura mereka tidak sama dan bentuk tubuh mereka lebih besar. Juga bukan yang menodong Rika dengan senjata pisau di halte. Saat Rika pernah bercerita ciri-ciri pelaku, lebih mirip yang melempar batu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahan Banting
Teen FictionDevan (18 tahun) punya adik perempuan namanya Rika (16 tahun). Devan punya cara sendiri untuk bertahan begitu juga Rika. Sampai akhirnya ada ambisi mengubah tekad. Devan takut gagal menjaga adiknya, sementara Rika takut waktunya berhenti karena terj...