TB 67 - titik terendah

11 4 0
                                    

Rupanya Bagas bukan sengaja membantu Lea. Bagas penasaran dengan rencananya, dan Rika tidak akan memberitahu. Ketika Bagas berkata cemas apa yang dia lakukan akan mencemarkan nama baik ayahnya sebagai kepala sekolah berpedoman. Rika ingin tertawa puas. Sialan Bagas. Bilangnya cemas, padahal dia juga telah mencemarkan nama baik ayahnya sendiri sebagai kepala sekolah. Sangat parah.

Setelah melompat dari tembok, Rika sulit melepaskan lengan tangannya dari cekalan Bagas yang berotot. Untung Lea membantu melepaskannya dengan memukul Bagas menggunakan tas dari belakang. Rika senang dan puas. Bersama Lea, mereka berlari kabur. Bagas kesakitan di belakang tidak boleh mengejar dan rencana mereka bisa menjadi berantakan.

Sampai di salah satu bangunan kosong lebih layak disebut terbengkalai. Baru ditinggalkan pemiliknya belum ada setahun. Bangunan-bangunan warga di belakang sekolah yang baru dibeli pengusaha untuk pembangunan apartemen, ternyata sekarang bentukannya seperti ini. Tinggal menunggu dirobohkan pada kuartal tiga.

Bulan ini masih kuartal dua. Mustahil dia dan Lea akan mati konyol tertimpa beton karena ulah kontraktor. Kecuali, jadwal penghancuran dimajukan. Rika sedikit gelisah.

Rika menyerahkan kotak pipih panjang ke Lea yang penasaran. Ada logo merek di bagian tutupnya. "Barang lo."

Rika juga memberikan lipatan kertas berisi kode morse untuk di hafal. Lima huruf pertama.

Lea membuka tutup. Berkilau. "Ini kunci jawaban palsunya?"

Rika mengangguk. "Buat formalitas."

~

Devan dengar kabar ada tetangga di gang sebelah terlilit utang. Usahanya bangkrut karena foya-foya. Bang Arif terkenal orang terkaya di lingkungan dalam sekejap menjadi paling menderita. Seluruh kekayaannya dirampas untuk jaminan utang.

"Terima kasih untuk bukunya, Bang Devan," kata Nino datang jauh-jauh ke bengkel padahal besok mulai ujian kenaikan kelas.

Devan menerima pengembalian bukunya yang lusuh tentang taekwondo untuk pemula. Devan hampir melupakannya telah meminjamkan ke adik kelas.

"Kemajuan atau kemunduran?" tanya Devan iseng.

Nino tersenyum canggung. Sungkan memberitahu. "Semoga kemajuan, ya, Bang."

"Harus yakin, dong. Kapan-kapan bisa, nih, tanding bareng gue!" ajak Devan.

Nino terkejut mendongak. Meluruskan. "Belum sehebat itu tanding sama juara taekwondo ...."

Devan terkekeh. Rendah diri adik kelasnya ini. "Sparing biasa, nggak serius-serius amat. Santai, No. Atau lo lebih oke kalau tandingnya bareng Rika—"

Nino gugup mengelak. "Sama Bang Devan nggak apa-apa!"

Devan manggut-manggut.

"Bang Devan, ada yang harus gue sampaikan ... ini tentang Rika," ujar Nino ragu-ragu.

"Apa, No? Bilang aja." Devan penasaran.

"Rika butuh Bang Devan di titik terendah." Nino menunduk mengulum bibir.

Devan tidak mengerti. "Adek gue kenapa, No?"

"Itu aja yang ingin gue sampaikan. Jangan marah sama Rika, ya, Bang. Rika sayang sama Bang Devan." Nino tersenyum kaku. "Gue pulang dulu, Bang Devan."

Devan kedatangan pelanggan tetap. Tetangga yang biasa memompa ban motor kempes. Devan melirik mobil ditumpangi Nino pergi.

~

Tahan BantingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang