Gisella membuka layar ponselnya, lalu menyerahkan ponsel miliknya kepada Ninda yang sedikit bingung, kebanyakan melamun. Bahkan sepasang mata nya sudah terlihat sembab karena daritadi nangis selama satu jam, di parkiran rubanah bar.
"Ketik alamat lo, biar gue anter" ucap Gisella cuek, yang kini mulai menyalakan mesin mobilnya.
Kedua nya sejak tadi hanya duduk diam di dalam mobil yang mati total, lebih tepatnya Gisella bingung harus ngapain untuk nenangin anak orang yang lagi nangis. Maklum lah, hidup tanpa peran seorang ayah bikin dia jadi lebih kaku untuk ngurusin hal remeh temeh kayak sekarang.
Alhasil dia cuma duduk diam, sementara Ninda masih nangis sesenggukan dengan pikirannya sendiri.
"Gue gamau pulang, malu sama Bunda" bisiknya pelan, Ninda memalingkan wajahnya ke luar jendela, sebisa mungkin tak bertatap wajah dengan Gisella.
Gisella mengangguk mencoba paham, tanpa basa-basi dia pun segera menjalankan mobil nya.
What 2 Do - Dean, Crush, and Jeff Bernat 🎵
Satu lagu berhasil di putar, menemani perjalan sepi mereka. Keduanya masih di selimuti kebisuan, baik Gisella maupun Ninda sama-sama enggan memulai pembicaraan. Meski tangisan Ninda sudah berangsur reda, dia pun memilih untuk memejamkan matanya. Kepalanya masih terasa berat, efek alkohol yang begitu banyak di tubuhnya.
Mungkin sama-sama ada ketakuan di antara keduanya, jikalau buka suara dapat menimbulkan perdebatan sengit seperti biasa.
Gisella sesekali melantunkan lirik yang dia hafal, meski terdengar agak samar di telinga, Ninda diam-diam menikmati nya. Toh suara Gisella cukup nyaman masuk telinga.
Mobil matic merah itu kini masuk ke sebuah parkiran di kawasan apartemen elit, Ninda tahu betul dimana daerah ini berada. Dulu jaman semasa sekolah, dia dan Jeni selalu lewat kawasan ini untuk pergi ke tempat les mereka.
"Ayo turun, Nin" ucap Gisella yang kini turun dari mobil, lalu mengambil tas dan jaket miliknya yang ia letakan di kursi belakang.
"Kita dimana?" Tanya Ninda pura-pura gak tahu, agak ragu sama keputusan langkahnya untuk ikut masuk ke dalam gedung.
"Apart gue lah, lo mau tidur dimana lagi?" Jawab Gisella cuek, langkah kaki nya sedikit lebih cepat, sehingga berhasil meninggalkan Ninda di belakang.
Ninda cuma bisa diam, menatap kepergian punggung gadis yang akhir-akhir ini dia benci.
'Kenapa sih gue mau masuk ke kandang harimau?' Runtuknya dalam hati.
...
"Anggap aja rumah sendiri"
Ucap Gisella setelah memberikan sepasang piyama miliknya yang jarang ia pakai, untungnya diantara sekian banyak warna gelap, dia masih punya satu set yang berwarna hijau muda, hadiah yang di berikan dari sang mami di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas.
Meski agak ragu kalau piyama itu muat di tubuh mungil Ninda.
"Lo mau tidur dimana? Kamar gue cuma satu, lo bisa tidur di kasur biar gue tidur di sofa" tanya nya lagi saat berhasil melepaskan frame kacamatanya, Gisella sedikit memijit batang hidungnya yang pegal akibat menopang kacamata di wajah seharian.
Gisella baru saja selesai mengganti baju, mencuci muka dan bersiap-siap untuk tidur.
Ninda masih diam, menatap wajah polos tanpa make up itu dengan tatapan yang sulit di artikan. Dalam hatinya dia mengakui kalau wajah gadis di depannya jauh lebih menarik tanpa polesan riasan dan tanpa kacamata.
Kemana sosok wajah mengerikan seorang Gisella? Pikirnya.
Semua orang bakal setuju kalau Gisella yang ia lihat sekarang merupakan versi terbaik dan terlihat sebagai perempuan baik-baik.
![](https://img.wattpad.com/cover/366061477-288-k131151.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomanceGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.