Gisella bersumpah dalam hatinya, kalau dia gak bakal lupain kejadian kemarin gitu aja. Tak ada kata maaf yang keluar bahkan sepatah kata pun dari junior baru sok cantik itu, siapa namanya? Dia bahkan lupa buat kenalan, mungkin juga enggan buat cari tahu.
Mikirin dua hari lagi buat papasan sama itu manusia lagi udah bikin mood nya jelek pagi ini. Setelah berhasil mengoleskan salep luka bakar di dada nya, ia pun mengenakan kaos hitam polos miliknya itu, lalu turun kelantai bawah, untuk ikut makan bersama ibunda tercinta. Maklum lah, lagi libur gini pasti dia milih buat tidur di rumah mami daripada di apartemen, walau jarak keduanya cukup jauh.
Gisella gak perduli, sekali anak mami, dia bakal jadi anak yang baik yang selalu berlindung di ketiak mami nya. Toh dari kecil udah hidup berdua doang. Jangan tanya kemana sosok sang ayah, karena itu hal sensitif buat mereka.
"Morning mami, masak apa pagi ini?" Tanya nya dengan riang, setelah mengecup salah satu pipi wanita paruh baya yang sedang menyiapkan dua cutlery di meja.
"Morning sayang, sorry mami gak bisa masak banyak, mami ada meeting siang nanti. Kamu dirumah aja gapapa kan?"
Gisella tersenyum seadanya, dia sudah hafal betul kalau weekday begini sang mami gak bisa di ganggu, maklum lah Independent Woman satu ini, harus menghidupi ratusan karyawan yang mereka pekerjakaan. Maminya punya beberapa cabang butik yang ada di Jakarta dan Bali, yang udah beliau rintis sejak Gisella dalam kandungan. Makanya, Gisella hafal betul tabiat mami nya.
"Jangan lupa hari minggu" ucapnya sambil mengunyah nasi goreng, sembari membuka layar ponselnya untuk mencari tontonan yang seru menemani makan. Karena tau, bahwa mami nya pasti bakal sibuk berkutat di layar ipad di banding dengannya di meja makan.
Tapi namanya anak, harus pengertian kan?
Sementara sang mami hanya mengangguk, ikut mengunyah sembari menaik turunkan layar persegi di depan mata.
"Mami aku anter aja ya?"
"Kamu gausa sok baik mau nganter mami, mami udah tau kesalahan kamu apa"
Gisella mendengus sebal, cara pendekatannya kali ini gampang tercium juga.
"Bu Tara tuh nyebelin banget tau mih, aku habis di semprot sama beliau. Kok mami mau sih temenan sama dia" gerutu Gisella.
Sementara mami nya hanya menggelengkan kepala, cukup heran sama ketidakharmonisan antara sahabat karib dan anak semata wayangnya itu.
Keduanya, kalau ketemu pasti membicarakan hal yang sama. Tara, akan mengadu segala kesalahan anaknya di tempat kerja, begitu juga anaknya yang akan mengadu hal apa aja yang udah di lakukan Tara kepadanya. Begitu terus. Sampai antartika meleleh jadi taman bunga.
"Ngomong sekali lagi mami suruh Tara pecat kamu"
"IH MAMI!!"
"Makanya, manner itu diatas segalanya nak, kamu gak boleh marah-marah seenaknya sama orang lain, terlepas kamu lagi apes, atau hal lainnya. Anak baru itu gak berhak nerima kemarahan kamu, inget loh itu hari pertama dia kerja. Masa kamu mau kasih memori jelek? Bisa jadi kan hari itu kalian lagi sama-sama apes. Siapa juga yang mau numpahin kopi dengan sengaja ke baju orang lain, bisa jadi itu duit terakhirnya dia buat beli kopi. Kamu gak mikir sampe.."
"Udah ih mi, iya aku salah. Aku janji gak bakal gitu lagi. Kok jadi mami ikut-ikutan ceramahin aku, udah cukup Bu Tara, mami jangan lagi!"
"Mami gamau tau, kedepannya jangan ada kata telat lagi. Udah gede masih aja suka mepet, rungsing sendiri kan!" Celoteh sang mami, lalu membereskan piring makannya.
Setelah meletakan beberapa piring kotor di tempatnya, sang ibunda lantas mencium pucuk kepala anak semata wayangnya itu sebelum benar-benar meninggalkannya sendiri di rumah dua lantai ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomanceGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.