Closure

813 97 11
                                    

Ninda mengecek arloji di tangan kiri nya berulang kali, tetesan keringat sudah lebih dulu membasahi pelipisnya, sedangkan ia bahkan tak perduli kalau untaian rambut yang sudah berantakan karena tersapu angin di malam ini. Berkali-kali ia meminta untuk driver ojek online yang ia tumpangi untuk mempercepat laju motor yang membawa mereka.

Tujuannya cuma satu, sampai di depan unit milik Gisella secepat mungkin. Sebab omongan Suri beberapa menit tadi, cukup menganggu batinnya untuk bersikap santai menghadapi hari esok.

Syukurlah, lima belas menit jadi rekor tercepat di sepanjang sejarah untuk sebuah motor melewati macetnya jalanan Semanggi di jam-jam rawan macet, mungkin Tuhan sedang baik pada Ninda.

Ia memberikan uang lima puluh, tanpa meminta kembalian, sebagai hadiah karena si abang sudah berhasil mengantarkan dirinya dengan selamat dan cepat di TKP.

Ia bahkan berlari menyusuri ribuan anak tangga, sebab menunggu untuk antrean naik lift, sama aja ngebuang waktu berharga.

Dengan nafas tersenggal-senggal, ia memencet bel di satu unit di pojok lorong gedung apartemen ini, berulang kali. Berharap kalau masih ada penghuni yang akan membukakan pintu untuknya. Setidaknya ia berdoa paling kencang untuk hal terakhir.

Pintu pun terbuka lebar, menampilkan sosok Gisella dengan baju tidurnya dan mata sembab di wajah yang ikut membengkak. Habis menangis? Pikirnya.

Ia mengedarkan pandangan sekitar, terlihat ada tiga koper yang berjejer rapih di sebelah sofa coklat yang akhir-akhir ini jadi tempat bersandar terbaik selain tubuh gadis yang masih mematung di depan pintu.

Tanpa pikir panjang, Ninda merogoh kantung jaket kulit berwarna hitam, yang selalu ia gunakan selama berpergian naik motor dengan gadis di depan; yang kini menatapnya dengan sejuta tanda tanya.

"Cemen banget sih, beginian doang nitip-nitip ke orang lain!" Celetuknya dengan tegas, tangan kiri itu mengulurkan satu kotak biru tua, yang Gisella tahu betul apa isi nya.

"Memangnya kenapa?" Tanya nya heran, meski dengan raut wajah sedih yang ia coba sembunyikan, tetapi tangan kanannya tetap menerima kotak biru itu dengan perlahan. Ia juga mempersilahkan Ninda untuk masuk, meski dari jauh-jauh hari lalu ia berharap kalau gadis ini gak bakal lagi menyentuhkan kaki di lantai ini, sebab ada ketakutan besar kalau pertahanan nya bakal runtuh.

"Pakein langsung, yakali beliin aku kalung nyuruh pake sendiri" ujar Ninda sekali lagi dengan nada selembut mungkin, bahkan ia gak perduli kalau Gisella bisa membaca raut khawatir di wajahnya.

Sejujurnya ia takut kalau bakal di tolak mentah-mentah. Abis nampar pipi sambil maki kemarin, berani-beraninya nongolin muka gak bersalah di depan korban langsung, gak pake aba-aba lagi.

"Nin.."

"Kamu gak mau pasangin ke leherku, Kak?" Pinta perempuan itu lagi, kali ini dengan manja.

Sigh, Gisella tau titik kelemahannya sedang di pukul bertubi-tubi oleh si gadis yang lebih muda. Kalau udah begini, gak ada yang bisa menang melawan sosok Ninda. Gisella benci tembok yang sudah terpatri tinggi itu, runtuh perlahan.

Mau gak mau, Gisella berjalan ke arah belakang tubuh Ninda, menarik rambut hitam gadis itu untuk dia pegang ke atas, lalu mengaitkan dua sisi kalung yang berhasil melingkar dengan indah di leher Ninda.

Sempurna, persis yang ia bayangkan saat memilih ornamen kecil itu sebagai pilihan yang pas bersanding di leher jenjang milik kesayangannya.

Ninda menyentuh hiasan kupu-kupu kecil yang terbuat dari palladium itu dengan perasaan yang sulit di jelaskan.

"Salah gak sih? kalau aku bilang aku gak bisa berhenti nangis dari hari itu.."

Masih pada posisi yang sama, Gisella masih setia menatap punggung gadis yang kini bermonolog pada diri sendiri.

Pretend LoversTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang