Nindia masih diam di posisi duduknya yang bersender pada pintu mobil yang masih terkunci rapat, sementara mobil putih milik Gisella sudah terparkir rapih di depan rumahnya sejak lima belas menit lalu.Entah apa yang dia pikirkan, tampak melamun sejak kepulangan mereka dari makan siang bersama ibu dari si pengemudi di sebelah, yang juga enggan membuka suara.
Mungkin kali ini Ninda kalah, berlomba saling mematung bukan keahliannya.
"Yang tadi bener, Kak?"
Gisella menghela nafasnya agak berat, bahkan kedua jemarinya kini meremas setir cukup kuat, sebelum benar-benar netra nya berani menatap kearah lawan bicara.
"Kenapa enggak? Selama kita yakin satu sama lain, gak ada alasan buat aku gak serius" ucapnya pelan,
Meski terdengar agak ragu, setidaknya begitu di benak Ninda.
"Apa yang jadi acuan kamu buat yakin, sama aku? Setelah apa yang kita jalanin?" Tanya Ninda lagi, salah satu tangannya kini menarik jemari Gisella dari setir untuk dia genggam.
Bukankah, sentuhan bisa menenangkan?
"Aku gak tau, Nin. Untuk sekarang aku memang mulai sayang ke kamu, tapi aku masih banyak kurangnya, aku gak sekaya mami juga buat nikahin anak orang, dan.. aku mungkin belum bisa yakin buat nerima orang baru setelah-"
"Kanaya?" Tanya langsung tepat sasaran, entah kenapa setelah menyebut satu nama tadi bikin Ninda jadi naik pitam.
"No, aku bahkan gak kepikiran dia sedikitpun, beneran. Aku cuma takut ngejalin sebuah hubungan, aku gak punya gambaran gimana keluarga, papi ku meninggal waktu aku kecil, banget. Yang ku tau cuma sosok mami yang sibuk, masa kecil ku juga berantakan, Nin. Aku terlalu takut kekuranganku bakal jadi masalah nantinya. Aku harap kamu bisa ngerti"
Ucap Gisella sedikit panjang dan lebar, meski dengan suara bergetar, sebisa mungkin menahan tangis.
Ninda sedikit tertegun, pemandangan disamping terlalu asing di matanya, dimana sosok Gisella yang keras kepala dan galak pergi?
Meski gak terlalu terkait, Ninda cukup paham gimana pedihnya hidup tanpa sosok ayah. Meski terlahir di keluarga cemara, Ninda sering membayangkan betapa hancurnya jikalau salah satu orang tua nya pergi meninggalkan nya, hancur lebur. Setidaknya Ninda bersimpati penuh sama cerita Gisella. Meski dia sendiri tak terlalu paham, apa obat termanjur untuk menyembuhkan luka batin seseorang.
Seluruh tubuhnya langsung mendekap perempuan di samping, dengan sebuah pelukan hangat. Sesekali jemarinya mengelus punggung rapuh yang bergetar cukup kencang tersebut. Ninda berdoa, semoga kesakitan-kesakitan yang selama ini coba di pendam, akan memuai begitu saja.
"Gue bakal nunggu sampai lo siap, Kak" bisiknya di tengah pelukan mereka.
...
Hari berganti hari, Bu Tara bakal pergi dari kantor kesayangan ini. Meski begitu, hari terakhir bakal tetap di adakan meeting akhir bulan, hitung-hitung buat perkenalan calon pengganti Head of Finance, yang di jalanin Bu Tara selama sepuluh tahun.
Masih dengan rutinitas yang sama, sore ini bakal jadi bagiannya Ninda buat belanja konsumsi buat keperluaan meeting. Karena gak mau bawa barang belanjaan sendiri, tentu aja dia narik Gisella buat pergi ke kafe sebrang kantor. Walau dalam hati masih gak terima, kalau kesayangannya bakal berinteraksi sama Suri.
"Kurang ajar deh, narik-narik manager lo sembarangan" cerca Gisella yang kesal, pasalnya dia baru kelar makan siang malah di tarik paksa. Kan gak sopan, dimana harga diri si Manager baru, kok mau-mau nya di suruh sama bawahan?!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomanceGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.