"Hai, apa kabar?"
Tanya Ninda keesokan harinya. Dengan rambut yang berubah warna menjadi lebih gelap dari sebelumnya, ia mengulum senyum saat jemarinya mendorong sebuah kotak bekal biru muda, diatas meja kerja milik Managernya.
"Hai, i'm okay. Ini apa?"
Gisella menerima kotak biru muda itu, mencium aroma sup iga beraroma familiar di indra penciumannya. Satu-satunya makanan favorit kesukaan yang selalu di buat oleh ibu, setiap dia jatuh sakit.
"Aku baru banget belajar masak, mami bilang kamu suka di buatin itu kalau lagi sakit, di makan ya?"
Gisella mengangguk, senyumannya terukir tipis. Ia menepuk kedua pahanya, mengundang Ninda untuk datang. Meski agak ragu, Ninda akhirnya menuruti kemauan yang menurutnya cukup aneh di lakukan dua orang yang hampir asing selama dua minggu belakangan ini.
"Makasih, Nin. Maaf juga aku ngilang beberapa hari ini"
Terdengar agak menyedihkan, Ninda tetap saja mengangguk untuk mencoba memahi situasi. Meski di dalam hati ia masih saja bertanya, apa alasan dari menjauhnya wanita itu.
"Sejujurnya aku khawatir, beberapa kali aku datang ke apart kamu gak pernah ada. Bahkan hape mu juga gak aktif. Mami bilang kamu lagi gak bisa di ganggu?"
Tanpa menjawab, Gisella lebih dulu memeluk pinggul gadis yang duduk membelakangi nya. Ia bahkan meletakan dagu nya tepat di atas bahu perempuan itu. Bahkan, sekarang ia dengan giat menciumi punggung Ninda yang cukup terekspos jelas, sebab ia memakai pakaian off shoulder.
"Gak nyangka, kamu makin cantik begini. Ada angin apa tiba-tiba ganti warna rambut?"
Gak bohong, kalau Ninda gak lagi bisa menyembunyikan senyumnya. Yang mungkin lebih pantas di sebut seringai nakal. Sebab Ninda memang punya niat khusus untuk mengganti total penampilannya, apalagi kalau bukan untuk menarik seluruh atensi Gisella, hanya padanya.
"Really? Syukur deh kalau gitu. Rada bosen aja, dari jaman kuliah blonde terus" tuturnya mencoba jujur, meski tak sepenuhnya.
Gisella mengangguk paham, pelukannya makin erat, seiring tangan nakalnya mulai menjelajahi perut yang tertutup baju tersebut. Saat jemarinya mulai masuk di balik baju hitam itu, mencoba menyentuh kulit di area perut rata milik Ninda, perempuan yang masih setia duduk membelakangi di atas pangkuan, melenguh lemah tanpa sadar.
"Gimana kalau ada yang masuk?"
Tanya nya tak kalah pelan, sembari menatap pintu yang tertutup rapat itu dengan perasaan khawatir. Meski tak di pungkiri kalau dia rindu sentuhan Gisella di tubuhnya. Syukurnya, semenjak menjabat jadi Manager divisi, Gisella sudah punya ruangan sendiri, tepat di ujung lorong, dekat lift.
"Jangan berisik kalau gitu" bisik Gisella tepat di cuping telinganya, bahkan bibirnya tak segan untuk mulai mengecup dan menjilati area belakang telinga perempuan yang kini juga turut memejamkan mata.
Senyuman Gisella semakin lebar, terutama saat mendengar lenguhan pelan dari perempuan yang mencoba meredam suara dari mulutnya.
...
"Makasih untuk hari ini"
Ucap seorang perempuan yang jauh lebih tinggi darinya, jemarinya masih setia menggenggam jemari Gisella di sepanjang jalan kaki mereka. Kedua nya berjalan santai, menyusuri hutan taman kota.
Sore hari begini memang waktunya muda-mudi menghabiskan waktu senggang mereka untuk berkencan di taman ini. Baik Gisella dan perempuan cantik di sampingnya kini memutuskan untuk duduk di bawah sebuah pohon rindang, lengkap dengan sebuah kain putih yang ia bentangkan di rerumputan, sebagai alas untuk duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomanceGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.