"Kamu dekat sama Ninda, itu?"
Tanya kanaya di sela-sela kegiatan meeting mereka, sebab mereka duduk bersebelahan, suara kecil perempuan itu terdengar cukup jelas di telinga nya.
Gisella tersenyum miris, kenapa dari sekian banyak pertanyaan pribadi, harus nanya itu. Bukankah di jam-jam kerja begini, lebih baik mereka bahas hal yang lebih penting daripada mengorek kehidupan pribadinya?
Tentu dia diam, pandangannya masih fokus menatap layar proyektor, sambil mendengarkan penjelasan dari Pak Anton sebagai pemimpin meeting kali ini.
Kanaya sepertinya merasa tak terganggu dengan sikap dingin Gisella, semenjak bertemu lagi, perempuan yang lebih muda tiga tahun dari nya itu selalu bersikap cuek dengannya dengan dalih profesional kerja.
"Diam nya kamu, berarti iya, Gi. Kamu memang gak berubah banyak" ucapnya lagi sembari menyunggingkan senyum.
"Gusah sok paling tahu, kamu cuma atasan aku. Stop mencampuri urusan pribadi sama kerjaan, Bu Kanaya yang terhormat"
Dia ngerasa makin gak suka sama Kanaya, apalagi akhir-akhir ini kanaya kayak melanggar batas profesional mereka. Meski omongannya tak kalah pelan, namun berhasil menusuk kalbu lawan bicaranya.
Tidak ada sautan lagi, baik Kanaya maupun Gisella sama-sama memilih diam, hingga meeting pun selesai.
Gisella yang dengan buru-buru merapihkan barang-barangnya, untuk segara pergi meninggalkan ruangan.
Baru beberapa langkah ia keluar dari ruang meeting, sebuah tangan lebih dulu menggengam jemarinya dengan paksa, mencoba menahannya.
"Ikut aku" ucap perempuan itu, yang kini menarik tubuh mereka menjauh, sama sekali tak perduli sama pandangan aneh staff lain yang menatap aksi ambigu mereka.
Setidaknya, Kanaya perlu meluruskan benang yang sempat kusut di cerita masa lalu.
Baru pertama kali di hidup Gisella menginjakan kaki di rooftop gedung ini, tepat di lantai ke empat puluh yang biasanya tak di ijinkan akses untuk masuk. Entah kekuasaan apa yang di miliki Kanaya, hingga bisa sampai kemari.
Mata nya mengerjap berkali-kali, seolah enggan berpisah dari pemandangan indah gedung-gedung di sekeliling mereka yang tampak bebas di pandang.
"Bagus, kan? Kemarin aku gak sengaja nemuin ini, ternyata viewnya jauh lebih bagus dari view lantai kita"
"Kok kamu bisa masuk?" Tanya Gisella yang kini mulai menatap Kanaya seolah tak percaya, setelah sekian lama perempuan itu selalu membuang muka tiap kali mereka berpapasan.
Setidaknya, semesta telah mengijinkan Gisella kembali menatapnya, meski tatapan dia tak seteduh dulu.
"Kalau kamu lupa, aku anaknya Jonathan Halim, pemilik gedung ini, Gi" ujar Kanaya dengan tertawa renyah, dengan nada yang terdengar agak sombong di telinga Gigi. Jujur, sampai detik ini, tak ada satupun bentuk respect yang ia punya untuk perempuan di depannya lagi.
Apa yang dia harapkan dari informasi gak penting kayak tadi?
Karena merasa Gisella kembali diam, Kanaya pun menggaruk telinga nya yang mendadak gatal, sebuah upaya yang dia lakukan di tiap situasi canggung; persis tak berubah sejak dulu.
"To the point aja, mau ngomong apa sih?" Tanya Gisella dengan nada ketusnya, bahkan tak satupun garis senyum terpampang di wajahnya.
"Anu, aku mau minta maaf. Gi. Atas semua yang aku perbuat dulu. Jujur, dulu aku memang egois, aku gak suka lihat Steven deketin kamu.."
"Deketin? Bukannya dia yang secara terang-terangan deketin lo ya? Bahkan kalian ciuman di parkiran, kalau otak lo itu masih bisa inget"
"Calm, Gi. Aku selalu inget semua kebodohan aku. Steven sebenernya dari awal suka sama kamu, waktu dia confess ke aku tentang perasaannya, entah kenapa aku marah. Aku gak suka ada yang deket-deket sama kamu, makanya dari dulu aku selalu bilang kalau dia itu brengsek, biar kalian menjauh"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomanceGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.