Sesuai pembicaraan hari itu, Gisella dan Ninda saling memahami keadaan satu sama lain. Bahkan kedua nya sepakat untuk menjalani hari-hari mereka tanpa ikatan, mengalir bagaikan air.
Semuanya berjalan sesuai rencana, setiap hari Ninda berangkat dan pergi selalu bareng Gisella, tentu nya dengan motor baru yang di beli pekan lalu.
"Berapa kali udah di bilangin, kalau pakai helm tuh jangan lupa di klik, kalau kenapa-napa, duh amit-amit deh!" Cerca Gisella sembari mengaitkan chin strap pada helm biru muda yang sekarang sudah jadi hak milik Ninda.
Tentu saja yang di omeli cuma bisa senyum-senyum gak jelas, bikin Gisella jadi berdecak pinggang, tampak kesal.
"Bisa di bilangin, gak???" Ucap nya lagi dengan nada sebal.
"Iyaaa bawel, ini nurut. Udah jangan marah-marah, nanti telat loh, kita" balas Ninda dengan senyum yang masih menggembang di wajah.
Gisella menatap arloji kecil di tangan kiri nya, lalu mengangguk pelan tanda setuju sama gagasan soal telat. Memang sepulang kerja ini, mereka sepakat untuk pergi nonton pameran lukisan dan makan ramen di sekitaran Blok M, mumpung sore ini pulang kerja tepat waktu, kan.
"Mang Dadang ayo jalan!" ledek Ninda yang sudah lebih dulu duduk di belakang, dan memeluk pinggang gadis yang lebih tua dengan erat.
"Enak aja mulut lo" eluh Gisella yang di akhiri dengan kekehan dari mereka berdua, sama-sama membayangkan sosok Mang Dadang yang selalu membantu Gisella di kala mogok, pria tua yang masih bujangan itu, sudah seperti ojek pribadi bagi Gisella. Bak ayah yang siap siaga, Mang Dadang bakal langsung datang dalam satu panggilan telepon, lengkap dengan kemeja kotak-kotak kesayangannya yang bau matahari.
Tanpa mang Dadang, Gisella cuma perempuan muda yang hilang arah, begitulah pikirnya.
...
"Ih baju aku bau asap, kan!" Eluh Ninda saat mereka turun di tempat parkir, dia mengendus-endus pelan kemeja kerja nya yang tak lagi beraroma bunga seperti biasa, melainkan sudah menyatu dengan bau polusi di jalanan.
Gisella menggelengkan kepalanya pelan, lalu dengan cekatan membuka jok motor nya, mengambil satu hoodie yang masih terbungkus dengan plastik laundry. Ia menyerahkan hoodie kesayangannya yang baru di cuci itu untuk Ninda.
"Bener dugaanku, pasti kamu ngomel-ngomel lagi. Itu pake, kebiasaan deh disuruh bawa jaket gak pernah inget"
Ninda masih bersunggut kesal, walau kedua tangannya ikut terulur menerima hoodie tersebut, ia membentangkan pakaian oversize itu untuk dia coba.
"Tapi panas ih, kegedean juga" cerca nya.
"Yaudah ayo keliling bentar, kita cari jaket yang sesuai sama kamu. Sementara pake aja dulu"
Ninda mengangguk patuh, lalu menggandeng perempuan di sebelahnya untuk menuntun jalan, setidaknya di kepala nya sekarang tertuju satu toko pakaian yang ia sering kunjungi.
Baik Ninda maupun Gisella sama-sama saling bertukar cerita kecil mereka, terutama tentang anak-anak divisi lain, yang tentu nya lebih banyak jadi pendengar di sisi Gisella. Toh kan dia gak terlalu dekat sama anak-anak lain, beda sama Ninda yang supel dan mudah berbaur, otomatis perempuan muda itu selalu tau persoalan gossip perusahaan.
Seperti pepatah 'dinding pun bisa bicara'.
"Tuh si Edwin ketauan selingkuh sama istrinya, bego banget sih, selingkuh kok sama anak magang" cerca Ninda mencoba mengomentari cerita nya.
Gisella sedikit terkekeh geli, lalu menatap perempuan di sampingnya dengan tatapan penuh selidik,
"Emang menurut kamu, selingkuh yang pinter itu gimana, Nin?"
Reflek gagap, perempuan yang di tanya kini menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.
Sejujurnya dia gak punya pengalaman selingkuh, apalagi di selingkuhi. Selama hidup, perjalan kisah asmara nya bisa terbilang baik-baik saja, mantan pertama berakhir karena rasa bosan, dan mantan terakhir berakhir karena dia gak kuat hubungan jarak jauh.
"Aduh, ya harusnya jangan satu kantor lah! Kayak gaada opsi lain aja, sama perempuan lain kek! Emangnya yang cantik si Siska doang? Kan, banyak tuh di dating apps" ujarnya penuh semangat, ia mulai mengadahkan tangannya ke samping, saat kedua nya mulai menyeberangi zebra cross.
"Itu toko nya di depan" tunjuknya pada salah satu ruko yang berjejer diantara caffe.
"Kalau dimata dia, Siska yang cantik, gimana dong? Selera orang kan beda-beda. Aku sih gak mendukung perselingkuhan ya, tapi memang bibit-bibit perasaan tuh kadang muncul kalau sering bareng sama seseorang, apalagi ketemu tiap hari"
Komentar Gisella barusan berhasil mendapatkan satu pukulan di perut nya.
"Enaak aja lo ngomong, kalau ada yang lebih cantik dari gue, lo mau juga? Maruk bener jadi manusia" ucap Ninda sedikit kesal, perkataan Gisella barusan berhasil mengetuk rasa cemas nya.
Sementara Gisella cuma bisa ketawa, sembari satu tangannya kini merangkul pundak gadis itu, sambil mengelus nya dengan penuh kasih sayang.
"Enggak dong, hati kak Gigi cuma punya space buat adik Ninda dan mami aja kok" ujarnya mencoba menenangkan.
"Oalah met, jamet" ledek Ninda yang kini mencoba menyembunyikan rasa malu nya, rasanya segerombolan kupu-kupu kini hendak kabur dari dalam perutnya.
...
"Kirimin foto yang tadi dong" ucap Ninda yang kini duduk di sebrang meja, menatap penuh harap ke arah Gisella yang masih asyik menyantap ramen nya, sementara dia sudah kelar makan dari lima menit yang lalu.
Perempuan yang masih mengunyah mie di dalam mulutnya itu, kini merogoh kantong celana cargo miliknya, mengambil sebuah ponsel yang tentu aja Ninda sudah hafal mati bentuknya.
"Passwordnya 002527, cari aja sendiri" ujarnya, melihat Ninda yang tak kunjung menerima uluran tangannya, Gisella pun di buat kebingungan.
"Kenapa bengong?" Tanya nya,
Ninda sedikit menggelengkan kepala nya pelan, lalu menerima ponsel tersebut. Ia mengetikan sejumlah angka, yang ternyata akurat sebagai pembuka layar yang sempat terkunci rapat.
"Ijin ya?" Ucap nya pelan, sedikit takut dan cemas membuka galeri yang lebih tua. Seumur hidupnya, pengalaman ini baru pertama datang, bahkan mantan-mantan nya terdahalu tak sedikitpun membiarkan Ninda menyentuh Ponsel mereka. Sementara Gisella? Dengan gampangnya percaya gitu aja. Padahal keduanya juga tak punya status kan?
Gisella mengangguk santai, lalu kembali fokus pada mangkok ramen yang hampir habis, dia tuh tipikal orang yang makan harus fokus, gak bisa sambil ngobrol juga. Takut kelamaan nyungah.
"Kamu kenapa semudah itu ngasih password hape ke orang lain sih, kalau orangnya niat jahat, gimana?" Tanya Ninda sedikit cemas, rada takut juga melukai perasaan yang lebih tua, sementara jemari nya masih lihai memilih-milih beberapa foto yang dia suka, sejak mereka bertandang ke pameran seni tadi, Gisella berinisiatif untuk mengabadikan kecantikan Nindia yang ia pikir tak kalah indah dari lukisan-lukisan yang mereka lihat.
"Emangnya kamu ada niat jahat? Engga kan? Ngapain di pikirin sih, Nin. Kan aku yang bolehin kamu pegang hape aku" ucap nya dengan santai, sembari menyesap teh oca panas yang mulai menghangat.
"Tapi kan tetap aja, Kak. Kamu gak boleh sembarangan kasih tau password hape kamu" jawab Ninda lagi, masih keras kepala.
"Yang bilang aku ngasih ke orang lain, siapa sih? Kan yang tau cuma kamu, mami juga gak tau"
Reflek semburat merah itu, kembali muncul di pipi Ninda, semua ini ulah Gisella. Dan Ninda benci fakta bahwa dia terlalu mudah salah tingkah, khususnya dengan perempuan yang satu ini.
Meski sebelumnya Ninda cukup kebal sama gombalan lelaki yang selalu mendekati nya.
Tetapi Gisella, tampakannya punya cara lain yang berhasil memporak porandakan perasaannya.
Aneh.
Tapi bego nya, Ninda makin suka.
Gatau deh, yang bikin cerita lagi bingung wk.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomanceGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.