Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi kalau sudah memasuki fase kepala tiga, hampir. Walau terperangkap pada tubuh dewasa, bukan berarti sifat dan karakter bakal mengikuti hal yang sama. Contohnya kayak sekarang, Ninda masih aja uring-uringan. Di kamarnya yang bentuknya masih sama sejak dia remaja, dia peluk boneka beruang super besar kesayangan itu dengan perasaan campur aduk.Di bilang sedih, pasti iya. Marah? Apalagi, semua nyampur jadi satu deh. Walau dia sendiri juga ngerasa gak pantas buat marah, toh dia sendiri yang bikin stress itu muncul di kepala.
Semua berawal dari Ninda yang memutuskan resign dari perusahaan, tepat sebulan sejak hari kelulusan itu tiba. Ia berkata kalau ingin menikmati libur panjang, sebelum benar-benar ambil jenjang karir yang lebih fleksibel. Tentu jadi dosen muda jadi pilihan, sesuai cita-citanya sejak masa kanak-kanak.
Sudah tiga minggu masa mengganggur ia nikmati, tentu sangat mudah di jalani di awal minggu pertama. Ninda banyak berkunjung ke tempat-tempat yang dia suka, me time ke kedai teh langganan atau bahkan ke toko buku untuk membeli berbagai bahan belajar untuk membekali diri dengan berbagai informasi sebagai dosen.
Kadang, dia juga mampir kerumah Cindy yang sekarang sudah di karuniai seorang putra menggemaskan yang sudah mulai bisa merangkak. Gak jarang, perempuan lajang itu mengucapkan puluhan kalimat pujian saat bertemu mata dengan lelaki kecil mungil itu. Ninda baru menyadari kalau dia suka aroma bayi, naluri keibuannya sering bertumbuh tiap kali bertemu anaknya Cindy, meski sebelumnya dia tak begitu suka anak kecil.
Gimana dengan minggu ini? Tentu dia mulai bosan sama ritme kehidupan sebagai pengangguran. Terbiasa bertahun-tahun bekerja enam kali dalam seminggu bikin Ninda gak betah dirumah. Ia rindu teman-teman kantornya, ia rindu memakai kemeja kerja dan heels kesayangan. Bahkan, dia rindu sosok Gisella sebagai senior galaknya. Walau dia tahu kalau waktu tak bisa di putar, meski ia ingin sekali mengulang masa-masa itu.
Selama minggu ini, dia banyak membantu bunda di dapur, atau menyibukan diri dengan tanaman-tanaman di apartemen Gisella, sebab perempuan itu mungkin sedang berada di fase tersibuk menjelang kelulusan. Gisella akhir-akhir ini jarang menghubungi, video call yang selalu mereka gaungkan tiap malam, hanya bisa terealisasi kan tiga kali dalam seminggu. Tentu bikin Ninda jadi overthinking. Itulah sebabnya, saat kemarin malam terucap beberapa pertanyaan seputar wanitanya dan teman sekamar itu. Meski dia juga tahu kalau pertanyaan itu sama sekali tak pantas untuk di utarakan.
"Kita gak pernah begitu, Nin. Cuma yaa aku sering peluk atau cium pipi ke Samie, hal lumrah juga kan temenan kayak gitu"
"Oh iya? Berarti aku semua orang yang ku anggap temen boleh gitu juga dong?" Tanya nya terakhir kali sebelum menutup sambungan telephone secara sepihak,
Ninda tau pertanyaan childish kayak gitu gak seharusnya ada. Dan gak seharusnya juga dia marah ke Gisella, toh memang budaya di negara barat memang begitu adanya.
Tapi kan, tetap aja Ninda cemburu waktu ngebayangi ada bibir lain yang menyentuh wajah pacarnya. Enak aja, dia yang tiga tahun di tinggal tanpa kejelasan, sekarang ada orang lain yang dengan bebas menyentuh sang pacar dengan embel-embel roommate. Gak masuk akal!
"Masih lo blokir?" Tanya sebuah suara yang diam-diam menyelinap masuk ke dalam kamar, tanpa rasa bersalah, Windy langsung menenggelamkan tubuh lelahnya di atas kasur.
"Gak sopan masuk-masuk langsung rebahan, cuci kaki dulu kek!"
Celetuk Ninda setengah marah, dia tahu betul kebiasaan Windy yang jarang mencuci kaki kalau bertandang kerumahnya. Seperti kebiasaan mereka akhir-akhir ini, Windy selalu ke tempat ini kalau gak ada janji nge date sama pacarnya, siapa lagi kalau bukan Jennifer.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomanceGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.