Lost

572 54 9
                                    


Langit sore yang semula cerah, mendadak turun hujan. Kedua perempuan itu berteduh, di depan kedai kopi, di sudut jalan.

Dari tadi, bukannya langsung pulang, Gisella malah menculik Ninda untuk jalan-jalan kaki di sekitar jalan kafe tadi. Bahkan mobilnya masih terparkir rapih di parkiran kafe, yang jaraknya sembilan ratus meter dari tempat ini.

Gak kerasa, sangkin nyamannya jalan kaki berdua, sambil ngobrol tentang kehidupan masing-masing selama tiga tahun tanpa kabar. Tiba-tiba aja langit mendung dan turun hujan, alhasil baju mereka jadi basah kuyup. Untungnya ada satu kedai kopi kecil yang mau nampung dua perempuan dengan baju basah, meski harus duduk di luar ruangan.

"Maaf ya aku nyulik kamu gini, jadi hujan-hujanan deh"

Ucap Gisella dengan penuh rasa bersalah. Takut kalau Ninda bakal terserang flu sehabis ini. Walau dia gak perduli sama tatapan aneh pengunjung lain yang di dominasi kaum remaja tanggung.

Ninda kini menyesap cappucinno nya dengan pelan, lalu mengintip ke arah Gisella dari cela cangkir yang hampir menutupi hidungnya. Ah, rasanya masih sama. Perasaannya gak pernah berubah tentang perempuan ini dari dulu, sesuai porsi.

Tak banyak perubahan dari diri Gisella, lesung pipinya masih terlihat samar meski pipinya menirus di makan waktu, bahkan tatapannya masih tajam seperti awal mereka bertemu pertama kali, dan jangan lupakan rambut pirang yang kini mengiasi wajah cantiknya.

Ninda pastikan kalau perempuan yang sedang duduk di depannya ini jauh lebih cantik meski sudah menginjak kepala tiga.

"It's okay, udah lama juga gak mandi hujan" jawabnya pelan, lalu menaruh cangkir itu kembali di atas meja.

Gisella mengangguk, meski mata nya kini terpatri sama satu objek di leher Ninda, sebuah kalung yang ia beli tiga tahun lalu. Ia menyunggingkan senyum tipis, saat sadar kalau sejak terakhir kali bertemu pun, Ninda tak pernah melepaskan kalung itu di lehernya.

"Itu, gak pernah kamu lepasin, kah?" Tanya nya sembari menunjukan objek dengan mata telanjangnya.

Ninda mengarahkan padangan pada objek yang di maksud, tanpa sadar jemari itu langsung memegang hiasan kupu-kupu yang selalu menemani, di segala kondisi. Sudah jadi kebiasaan, tiap Ninda rindu akan si pemberi kalung, ia akan meraba-raba lembut pada hiasan kupu-kupu tadi. Rada gak nyangka aja kalau Gisella notice soal kalung ini, meski udah dia coba tutupi pakai scraft kecil yang ikut mengalung di leher.

"Ah, ini? Iyaa, udah gak sadar aja kita jadi sepaket. Aku lepas kalau mandi doang, udah kebiasan juga. Kalau gak make kayak ada yang kurang" tuturnya dengan lembut, sembari merapikan anak rambut yang sudah setengah kering itu ke belakang telinga.

Gisella terperanjat, saat menatap satu tatto kecil bergambar bunga di selangka kiri, yang sejak tadi tertutup rambut yang mulai memanjang sampai melebihi punggung.

"Kenapa bunga?" Tanya Gisella lagi, seolah tergelitik sama noda permanent yang menghiasi tubuh Ninda. Bahkan setahu dirinya, Ninda bukan tipe perempuan yang suka neko-neko, asap rokok aja paling anti, apalagi pasang tatto di kulit sendiri.

Namun tampaknya Ninda enggan menjawab lebih, perempuan itu memilih untuk mengganti topik obrolan lain, dengan bertanya soal kondisi Kanaya, yang tampak menarik untuk di bahas.

"Tadi kamu bilang abis nganterin Kanaya ketemu anaknya, emang rumit banget ya rumah tangga mereka?"

Ah, pertanyaan ini ternyata muncul juga. Gisella sudah menduga kalau Ninda bakal bertanya hal yang sama, sebab Kanaya bakal selalu jadi masalah di antara mereka.

Gak perduli gimana pun kondisi hubungan keduanya.

"Gitu deh, Nin. Suaminya itu selingkuh, suka main tangan juga. Tapi karena keluarga nya lebih berpengaruh jadinya menang di pengadilan, padahal bukti udah cukup semua buat nekan hak asuh. Tetap aja, Kanaya kalah. Dengan dalih, Kanaya tuh sibuk dan gak punya waktu buat ngurus keluarga"

Pretend LoversTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang