"Ninda!!!" Teriak Steven di ujung lorong gedung, yang tampak setengah berlari menghampiri dirinya.Ninda yang merasa terpanggil pun, menunjuk diri sendiri sembari menatap kebingungan pada sosok lelaki yang kini menghembuskan nafasnya yang terdengar dengan ritme pendek, setelah berusaha sampai dengan cepat di depannya.
Steven dengan buru-buru menarik tangan Ninda untuk segera ikut dengannya, tanpa perduli pandangan beberapa mata yang mengarah ke mereka, Steven baru berhenti ketika kaki mereka sampai di depan pintu toilet.
"Itu, hickey lo keliatan" tunjuknya dengan tatapan mata ke arah leher kanan Ninda, yang sudah ia coba tutupi dengan foundie yang kemungkinan luntur karena keringat yang mengucur deras, maklum pagi ini cuaca Jakarta terlalu terik, dan berkat berangkat pakai motor, tentu aja keringat merajalela membasahi tubuh.
Ninda tipikal yang gampang gerah. Apalagi akhir-akhir ini selalu di paksa buat pakai Jaket yang lumayan tebal.
"Oh shit, makasih banget Kak, kalau gak gue pasti di cengin satu ruangan" ujarnya sedikit cemas, sementara Steven jadi ketawa lucu melihat ekspresi Ninda.
"Gisella ya?" Tanya nya pelan, takut terdengar sama pegawai lain yang lalu lalang, syukurnya mereka berdiri di toilet gedung, bukan toilet kantor yang pasti semua saling kenal.
Ninda gak perlu kucing-kucingan buat ke toilet.
"Kok tau?" Tanya nya heran, kenapa semua orang segitu gampangnya menebak hubungan ambigu mereka, sementara keduanya masih abu-abu sama status..
"Dari tatapan lo satu sama lain aja udah ketahuan, Nin. Terutama Gisella yang keliatan gak suka banget kalau gue deket-deket sama lo"
"Ah itu mah masih dendam kali sama kejadian dulu" ledek Ninda mencoba mencairkan suasana,
Namun langsung di balas gelengan kepala oleh Steven,
"Enggak, Nin. Tatapannya kali ini beda, ini tuh tatapan yang sama waktu dia lihat gue deket-deket Kanaya, gue tau persis. Kata gue, lo harus siap-siap kalau suatu saat dia ngajak serius. Gisella tuh gak neko-neko bocahnya, bisa aja besok lo di ajak nikah di Belanda, kalau udah A pasti bakal A, sekeras itu manusia nya" ujar Steven panjang lebar,
Tentu aja gagasan barusan gak masuk di akal sehat Ninda, sedikit gak percaya dan juga gak mau terlalu berharap. Takut sakit hati sendiri karena kemakan ekspetasi yang berlebih, toh di hubungan yang sekarang, sudah lebih dari cukup.
Menurutnya."Ngaco lo, Kak. Udah deh jangan bikin gue berharap, by the way makasih yaa"
Steven mengangguk, lalu mengacak rambut Ninda karena gemas.
"FYI aja, Nin. Anyway kalau butuh tebengan, calling gue aja, Nin. Siapatau lo bosen di bonceng naik motor terus hahaha"
Ucapan barusan reflek di hadiahi sebuah pukulan di perut, meski Ninda berhasil ketawa juga sama jokes barusan.
"Freak lo kak!" Ucapnya setengah berteriak, saat Steven yang berangsur pergi meninggalkannya dengan tawa yang masih menghiasi wajah keduanya.
Setelah memastikan Steven tak nampak di depan mata, barulah Ninda masuk ke dalam bilik toilet.
Dengan bantuan cermin kecil di pouch make up, ia pun kembali menutup memar kemerahan di lehernya dengan foundie, bahkan bedak juga. Syukurnya noda kemerahan dapat pudar.
Sambil menghela nafas, Ninda pun membuka pintu toilet, berharap tak ada pasang mata yang memergoki nya.
Saat membuka pintu, betapa terkejutnya dia saat menyaksikan punggung Gisella yang kini bersandar di depan tembok, persis di sebelah toilet umum wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomanceGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.