Take Me

1.2K 117 5
                                    

"Kak Gigi"

Sebuah panggilan lembut yang terdengar asing di telinga Gisella, terutama panggilan rumah yang biasa di sebut oleh orang-orang terdekatnya kini di ucapkan kembali oleh Ninda. Setelah sekian lama.

Dengan perlahan, Gisella menegakan kepalanya pada orang yang meminta atensinya, pada perempuan yang kini sudah lengkap dengan baju tidurnya, yang kini menatapnya di pantulan kaca meja hias. Ia menyisiri rambut yang masih setengah basah itu,
Tepatnya setelah selesai membasuh diri pada pukul tiga dini hari, setelah semalaman berkelana menulusir jalanan Vienna.

"Kenapa?" Tanya nya mencoba biasa saja, padahal jauh di lubuk hatinya banyak perasaan tak asing yang kini menguasai, sedikit menyesali beberapa kegiatan dewasa yang tak sengaja mereka lakukan tempo tadi.

Ninda tampak kesal sama respon barusan, kok bisa ada manusia setengil ini setelah apa yang mereka lakukan beberapa puluh menit lalu? Mikir!

"Cuek amat?" Tanya nya lagi, gak habis pikir sama perempuan yang baru aja mengagahi dia dengan amat sangat baik, tadinya.

Sementara Gisella, dengan semburat merah di kedua pipinya langsung masuk ke dalam toilet, mungkin tubuhnya butuh sentuhan air dingin setelah sejak beberapa jam lalu terlihat lihai menyentuh tubuh roomatenya, tersebut.

"Kak Gigi! Kok kabur sih!!" Teriak Ninda lagi.

Gisella gak mau menggubris, baginya suara-suara Ninda hanya bentuk godaan batin bagi telinganya, terutama saat tadi, tepat tubuh keduanya yang saling bersentuhan tanpa sehelai busana itu pun masih terngiang-ngiang di memorinya. Bahkan bisikan nama kecil nya yang di rapalkan gadis yang lebih muda dengan intonasi yang menurutnya cukup menggelitik, bikin mukanya semakin terasa panas.

Benar, dia sangat butuh guyuran air dingin di sepertiga malam begini.

...

Gisella terbangun dari tidur yang lumayan nyenyak, meski hanya tiga jam, karena dua jam lagi jadwal mereka buat check out dari hotel ini dan pergi menuju bandara.

Matanya mengerjap beberapa kali, lalu memperhatikan dua pasang tangan yang masih setia melingkar di perutnya, dalam hati dia bersyukur karena terbangun dengan pakaian tidur yang masih lengkap, mengingat betapa gila nya mereka bergulat dengan tubuh telanjang tanpa busana di sisa malam mereka di kota ini.

Meski agak malu, namun sekuat tenaga dia memutuskan untuk menuruti gengsi, agar bersikap biasa saja seperti semestinya, takut kalau kedepannya suasana bakal canggung, mengingat tak ada nya pengakuan perasaan satu sama lain, hanya sebatas tenggelam dalam nafsu yang menjadi satu kesatuan; buah cinta satu malam.

"Ninda, bangun yuk" ucapnya sembari mengusap-usap pipi tembam gadis yang masih pulas.

Dengan sedikit elusan lagi, gadis itu pun mulai membuka matanya perlahan, seolah mencari celah agar kesadarannya timbul dari kantuk yang masih berkuasa.

"Lima menit lagi, kak" ucapnya dengan suara serak khas baru bangun tidur, sembari mengeratkan pelukannya ke tubuh yang lebih tua.

"Ninda, kita harus packing. Lima belas menit lagi waktu breakfast bakal habis, gak bakal keburu, Nin"

Ninda tampak tak menggubris kalimat barusan, baginya waktu tidur lebih penting dari apapun. Dia tipikal manusia yang susah bangun. Bahkan sekarang ia tenggelamkan kepala nya di ceruk leher milik Gisella, sambil ia kecup pelan kulit leher yang terekspos bebas di wajahnya.

Pretend LoversTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang