Hari terakhir,Setelah seminggu ini ugal-ugalan ngejar deadline project yang hampir mirip kisah Roro Jonggrang yang minta di buatkan seribu candi dalam satu malam. Gak bohong kalau badan Ninda hancur lebur, bahkan kantung matanya udah setebel kamus bahasa Korea yang selalu dia bawa kemana-mana, maklum kan siapa tahu bakal ketemu Kim Mingyu secara dadakan, mimpi!
Ninda pusing, lebih dari tujuh keliling sangkin capeknya gak bisa di utarakan pakai kata-kata. Setelah dari kemarin dia ngikutin seniornya itu kesana kemari ketemu klien dari manca negara, seketika bikin energinya drain.
Dia gak pernah benci kerjaannya, sama sekali. Dari kecil, Ninda sangat suka matematika, apalagi soal perhitungan. Makanya bisa kerja di salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia, dia sebahagia itu. Apalagi bisa masuk ke divisi favoritnya, keuangan.
Tapi ada satu hal yang bikin dia kesal gak kepalang, perihal sang senior yang masih mendiaminya tanpa sebab, padahal sejak hari pertama sampai Vienna, hubungan mereka sudah sedikit membaik karena insiden memalukan, lepasnya handuk dari tubuh seksinya. Waduuh!
Gisella sih, masih berusaha merangkulnya ketika berpapasan sama klien, sesekali bahkan menggenggam jemarinya untuk menemui satu kolega dengan kolega lainnya, sementara Ninda hanya bisa tersenyum manis, mendengarkan pergerakan bibir lihai milik Gisella yang ternyata menguasai beberapa bahasa asing. Jujur dia sempat tertegun, selain jutek dan pemarah, sang senior ternyata punya banyak kelebihan. Pantes aja, kalau ada acara-acara penting begini pasti Gisella yang sering di utus untuk maju sebagai perwakilan perusahaan.
"Lepasin, kita udah gak perlu akting lagi" ucapnya ketus,
Ninda menarik jemarinya dengan cepat saat mereka berhasil keluar dari salah satu gedung yang mengadakan acara pameran konstruksi dan energi terbesar di Austria, yang tentu saja baru selesai mereka hadiri.
Sementara Gisella hanya menatap wajahnya sekilas, tanpa menatap matanya sama sekali. Bikin emosi Ninda makin memuncak sampai ke dada.
"Mau lo apa sih? Sampai kapan lo diemin gue kayak bocah gini?" Ucapnya sedikit terdengar frustasi, namun Gisella masih diam membisu. Ia membuang muka, seolah langit Vienna lebih indah dari pada memandang wanita di depannya.
"Heh bisu! Jawab dong! Emang gue ngomong sama tembok?"
Suara Ninda mulai meninggi, agak terdengar nyolot di telinga Gisella, mereka sama-sama tahu kalau kedua dari masing-masing sudah mulai tersulut emosi. Apalagi di tempat asing yang di penuhi banyak lalu lalang manusia asing, bikin mereka jadi bahan perhatian publik sekarang.
Tentu saja hal ini yang paling Ninda harapkan dari sosok Gisella yang pemarah, setelah seminggu ini jadi sosok pendiam dan tak bergairah sama sekali untuk meladinya. Bahkan tak ada satupun kata yang terucap meski mereka tinggal sekamar, Ninda tidur lebih dulu, karena Gisella pulang larut malam. Seolah sengaja menghindarinya.
Ninda butuh emosi itu keluar dari wanita di depannya. Seperti biasanya yang menjadi rutinitas mereka, ibarat gak berantem gak makan!
Namun kayaknya dugaan Ninda salah, Gisella sama sekali tak tertarik untuk mencolok, bahkan wanita yang lebih tua itu mulai menghela nafas panjangnya, sebelum memanggil taksi di sebrang jalan untuk membawa mereka pulang.
Enggak, Ninda benci sikap ini. Emosi nya makin memuncak takala jemari Gisella dengan lihai membukakan pintu taksi itu untuknya, seolah bare minimum ini ada di semua orang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomantikaGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.