Tiga tahun,
Langit malam di Milan terasa dingin menusuk sampai ke tulang, Gisella mengeratkan coat hitam selutut miliknya, kedua kaki nya berjalan dengan tempo agak cepat, mencoba menghalau salju yang tingginya bahkan sudah mencapai mata kaki.
Gedung flat sewaan sudah terlihat di depan mata, hanya berjarak tujuh puluh langkah kaki dari jalanan raya, meski ia tinggal di daerah tak terlalu ramai, paling tidak jaraknya gak sampai lima belas menit dari kampusnya yang terletak di tengah kota Milan.
Gisella suka dengan kota ini. Udaranya sejuk, banyak bangunan-bangunan kuno yang bisa memanjakan mata, dan juga kota ini cukup ramai penduduk untuk menemani hatinya yang terasa kosong.
Ia suka berpergian tiap sore, terutama saat kelas nya selesai, ia gemar berjalan kaki mengunjungi toko-toko di sekitar jalanan, atau bahkan bersepeda di taman kota. Seperti sore ini, ia sudah menghabiskan sorenya untuk bertandang ke kedai teh tua yang menjadi legenda di kota, setelah menghabiskan dua cangkir untuk seorang diri.
Semenjak di Milan, Gisella menemukan kegemaran baru untuk meminum teh di banding kopi, dan entah sejak kapan chamomile jadi stress relief seorang penggila cappucinno kayak dia. Mungkin sudah setahun kebelakang, kebiasaan ini menjadi alternative.
Ia menggengam satu cup panas berisi chamomile itu untuk menemaninya mengerjakan tugas. Setidaknya teh chamomile bisa membantunya untuk rileks, sebab akhir-akhir ini dia punya kebiasaan sulit tidur. Insomianya jadi akut parah, entah karena tugas yang seabrek, atau karena kepalanya yang selalu penuh sama satu nama. Yang bahkan sudah tiga tahun lamanya belum juga hilang dari ingatan.
Gisella membuka pintu unitnya, di ruang tengah sudah ada sosok teman yang jadi roommate nya. Perempuan berambut blonde itu, tersenyum sembari melambaikan tangan pada Gisella.
"Wellcome home, babe"
Sebuah kebiasan aneh yang ia temui selama hampir satu tahun.
Gisella tersenyum tipis, ia rapihkan boots hitam yang sejak pagi menghangatkan kakinya dari cuaca ekstrem, ia taruh di rak yang berdiri kokoh di samping pintu. Lalu, ikut duduk di samping gadis yang sedang asyik memakan salad di atas sofa.
"Gantung coatnya, Gigi. Kebiasaan!" Omelnya pelan, salah satu tangannya tetap mengarahkan sesuap salad di mulut Gisella, meski mendapat gelengan kepala.
"I'm full, tadi udah nyemil di kedai teh" balas Gigi sambil berdiri lagi, menuruti perintah dari yang lebih tua untuk menggantung coat hitam nya, ia kembali duduk di tempat yang sama sambil mulai mengganti chenel televisi.
Gak ada yang acara yang ia suka, netflix pun jadi pilihan terakhir. Syukurnya perempuan itu setuju untuk kembali nonton satu serial yang mereka ikuti berdua.
"Gimana? Di acc gak?" Tanya perempuan itu lagi, kini ia meletakan semangkuk salad itu di atas meja, mungkin mulutnya mulai pegal mengunyah sayur-sayur segar tanpa tambahan apapun, jujur ia rindu masakan rumah, tapi berhubung jadwal diet lagi ketat, mau gak mau jaga porsi makan kan?
Gisella mengangguk pelan sebagai tambahan, lalu mengambil ponsel untuk membuka layar. Ia menunjukan satu room chat ke arah perempuan itu yang kini memekik antusias.
"Aah!! Congrats Gigi, i'm happy for you! Akhir bulan ke Jakarta dong?"
Gisella mengangguk lagi, kali ini dia tersenyum sumringah, cukup bangga sama hasil kerja kerasnya selama disini. Brand kecil yang ia bangun selama dua tahun kebelakang ini, berhasil dapat slot buat ikut runaway.
"Aku udah beli tiket, kemungkinan tanggal 30 aku berangkat. Berhubung pamerannya pertengahan bulan depan, aku minta libur sekitar 4 minggu. Kamu mau ikut balik gak?" Tanya lagi pada perempuan yang kini tersenyum miris,
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomanceGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.