Cinta memang kejam bagi sebagian orang.Mungkin Ninda termasuk ke dalam salah satu manusia di kelompok tadi.
Ia menatap leher jenjang miliknya di balik cermin besar di kamarnya, ada satu kalung indah yang menemani leher putih pucat itu sekarang. Ia memainkan hiasan kupu-kupu kecil berwarna silver itu berulang kali, membayangkan bagaimana saat tangan Gisella kala itu mengaitkan kalung ini di lehernya.
Ia juga membayangkan, betapa romantisnya dinner malam itu jikalau ia tak berindak gegabah kala itu, sudah pasti Gisella mutlak menjadi miliknya.
Tapi nasi sudah menjadi bubur kan? Meski Ninda di seumur hidupnya tak pernah suka pepatah itu, mau gak mau ia harus terima nasibnya.
Paling tidak, Ninda harus belajar menerima, kalau cinta nya sudah lebih dulu pergi ke benua lain, dan hanya kemungkinan kecil untuk mereka bisa bertemu lagi.
Apalagi mengulang kembali cerita yang sama pada babak baru. Salah satu bentuk kemustahilan yang Ninda tolak untuk percaya.
Suara ketukan di balik pintu terdengar nyaring, ada suara bunda disana, yang memanggil namanya setengah berteriak.
"Nin, Windy udah di bawah nungguin kamu tuh" celetuk ibunda, sebelum benar-benar meninggalkan Ninda yang masih terkurung di dalam kamar. Sebab beliau harus segera mengangkat kue-kue keringnya dari dalam oven, takut pada gosong.
Ninda ikut berteriak, mengiyakan perintah ibunya untuk segera turun ke lantai bawah. Tentu sudah dari setengah jam lalu dia sudah berpakaian rapih, meski hanya menggerai rambut hitam yang mulai memanjang melewati bahu itu begitu saja, tanpa di catok terlebih dahulu.
Sebab dia yakin, kalau kecantikan sebenarnya ialah berasal dari dalam diri.
"Ayo Win, keburu telat!" Ucap nya pada Windy yang masih mengunyah kue kering buatan Bunda dengan senang hati, seolah tak perduli kalau Windy bahkan belum meminum teh nya sejak tadi.
Tentu yang di seret untuk segera pergi, menolak setengah mati. Harga dirinya rela tercoreng demi kue kering favorit buatan Bunda, yang juga menjadi ibu favorit bagi Windy diantara teman-teman lainnya.
Demi apapun, seluruh dunia harus tau gimana nikmatnya kue buatan tante Jihan.
"Bentar, satu lagi aja. Sana panasin mobil gue dulu aja" ucap Windy dengan santai sembari menyerahkan kunci mobilnya di meja.
Ninda mendengus kesal, aksi barusan seperti ledekan alus untuknya karena gak bisa nyetir kendaraan di umur yang mulai menginjak dua puluh enam tahun. Miris!
"Lo mau mobil lo tiba-tiba nambrak pagar rumah gue?"
Ujarnya dengan penuh sarkastik.
"Yaelah tuan putri, lo tinggal masukin kunci, puter deh tuh kunci juga udah hidup sendiri mesinnya" ucap Windy dengan santai menimpali.
Ninda mendengus sebal, tetapi jemari tangannya tetap mengambil kunci tadi.
"Mata lo masih bengkak, lo nangis lagi ya?"
Ninda tersenyum getir, sekali gelengan kepala menandakan ia enggan menjawab pertanyaan itu lagi. Meski benar kalau sudah jadi rutinitasnya selama lima bulan belakangan menangis di tiap waktu kosong. Rasa bersalah dan penyesalan tentu jadi salah satu faktor besar, ia sulit menerima kenyataan, kalau dialah yang membuat Gisella pergi dari perusahaan, dan kota tercinta yang telah membesarkan mereka dengan sejuta kenangan.
Andai dia bisa memutar waktu, mungkin kembali ke masa-masa itu, bisa merubah segala kesalahan yang ia perbuat.
"Its okay, manusia tempatnya salah. Kak Gigi pasti gak pengen liat lo sedih terus kayak gini, ayo kita main. Lo harus tau kalau di luar sana banyak hal menarik untuk di lihat"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomanceGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.