Sudirman macet total.
Mobil yang di kendarai oleh Steven, terjebak di antara puluhan kendaraan lainnya, sementara hujan masih membasahi bumi dengan derasnya.
Ninda menatap beberapa pengendara motor di sebelah nya, yang berlindung di balik jas hujan sobek yang cuma bisa melindungi sebagian tubuh mereka, kalau sudah begini tuh baru kelihatan betapa pedihnya survive di ibukota. Syukurnya sejak kecil, Ninda gak pernah sedikit pun merasakan kepahitan hidup, meski ekonomi keluarga nya dulu sederhana, namun ibu dan ayahnya selalu mengusahakan kesejahteraan putri semata wayang mereka. Bisa di bilang, Ninda beruntung lahir dari keluarga cemara.
"Ngelamun aja, Nin. Ini ganti aja lagu nya di hape gue" tawar Steven bersikap sopan, sembari menyerahkan ponselnya.
Ninda terenyuh sebentar, cukup tak asing sama scene ini, yang tentunya pernah bermain peran di ingatan. Kala dia dan Gisella duduk di mobil, di parkiran rubahah bar tempo dulu. Saat Gisella yang menemaninya saat menangisi pria brengsek yang kini duduk di sebelahnya.
Entah pikir apa, Ninda mau aja di ajak pulang bareng. Steven memang sudah menunjukan gelagatnya untuk berubah, dan itu sudah terbukti sejak beberapa hari dan minggu ini. Ninda dapat merasakan ketulusan di lelaki ini.
Meski ia sendiri tak bisa menaruh perasaan lebih.
"Kenapa Gisella semarah itu sama lo, Kak" tanya nya pelan, agak takut buat bahas topik ini, yang menurut mereka sangat sensitif, tetapi gak bisa di pungkiri kalau Ninda jadi penasaran setengah mati.
"Apa ya? Jujur gue juga bingung, sih" ujar Steven tak kalah pelan, meski matanya sibuk menatap jalanan, pikirannya ikut berkelana jauh, mencoba menarik jawaban dari lima tahun silam.
"Dulu kita deket, temenan biasalah. Kayak lo sama Windy dan yang lain, sering main bareng kan? Nah dulu tuh ada cewek satu lagi temen kita, Kanaya. Jujur yaa, Nin. Lo gak boleh ceritain ini ke siapapun. Janji gak?" Tanya Steven sedikit cemas,
Bahkan pria itu kini mengacungkan jari kelingkingnya, yang langsung di sambut oleh lawan bicara nya.
"Janji"
"Okay, dulu tuh gue sempat suka sama Gisella, doi kan pendiem, tapi kalau di ajak ngobrol nyambung, anaknya juga kelihatan polos dan tulus, beda lah sama cewek-cewek yang sering gue temui. Singkat cerita, waktu itu gue jujur ke Kanaya kalau gue tertarik ke Gisella, dia rada gak terima. Alasannya karena kita bertiga itu temenan baik, dia gak mau pertemanan kita hancur karena cinta, apalagi satu kerjaan, satu divisi pula,"
Steven memberi jeda pada ucapanya, sedikit menelan ludah untuk melanjutkan kembali cerita nya.
"Gue ngerasa alasannya rada gak logis, tapi Kanaya ini beneran keras kepala. Dia beberapa kali berusaha ngejauhin gue sama Gisella, caranya halus banget. Sampai suatu ketika, waktu acara party kantor, gue mabuk banget, Kanaya bantuin gue buat masuk ke mobil ini, dan ya, kita ciuman. Dia yang nyium gue, sumpah demi apapun. Walaupun jujur gue menikmati ciuman itu. Dan lo tau? Gisella ngelihat kita!" Ujarnya dengan sedikit antusias,
Ninda mengernyitkan dahi nya, cukup bingung merespon sepotong kisah yang belum selesai, meski dia sempat mendengar potongan puzzle lain dari versi Gisella, tetapi tetap saja cerita kedua nya tak masuk di akal.
"Gisella marah-marah ke gue, detik itu juga. Dia narik gue ke dalam, kita berantem mulut, dia bahkan ngatain gue cowok gak baik, jujur gue sedikit bingung kenapa dia harus semarah itu, bahkan dia lebih marah ke Kanaya waktu itu. Dan lo tau alasannya? Ternyata dia sama Kanaya selama ini dekat, gue gak ngerti gimana nyebut hubungan sesama perempuan itu gimana, tapi yang pasti cerita itu nyampai ke satu divisi" ujar Steven sembari membelokan mobil nya, tepat di perempatan komplek rumah Ninda.
![](https://img.wattpad.com/cover/366061477-288-k131151.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend Lovers
RomanceGirl, do you really wanna be my friend? Or do you really wanna be my lover? If not, baby, let's pretend, pretend, love - Montell Fish.