Sakit

116 70 55
                                    

Waktu menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Akira dan sang kakak kini sedang berada di dalam sebuah ruangan yang didominasi oleh warna putih. Mereka berdua berdiri tepat di depan sebuah meja pribadi bertuliskan Abraham, dan menatap ke arah seorang kakek yang sedang duduk di balik meja itu sembari menyalakan cerutu.

Kakek Abraham menghisap cerutu seraya melihat ke arah Akira dan sang kakak. "Kalian berdua gak ada yang terluka, kan, Akira, Alexia?"

"Gak ada, Kek. Cia sama Akira baik-baik aja. Tapi, Cia dapat kabar kalau polisi kali ini berhasil nangkap beberapa anggota kita," ujar Alexia, memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket.

Kakek Abraham kembali menghisap cerutu. "Terus?"

"Bara dan sebagian besar anggotanya juga berhasil ditangkap sama pihak kepolisian, Kek."

Kakek Abraham mengembuskan asap cerutu dari dalam mulut, lalu mematikan sisa gulungan tembakau kering itu dan menaruhnya di atas asbak. "Gitu, ya. Syukurlah kalian berdua gak kenapa-napa, untuk anggota kita yang ketangkap biar jadi urusan Kakek."

Alexia mengangguk menyetujui perkataan sang kakek. Sedangkan Akira, sedari tadi hanya diam. Akira benar-benar menjadi sangat pendiam, semenjak memutuskan untuk mengecek isi dari gang rumah tua tempat dirinya bersembunyi tadi bersama teman-temannya.

Kakek Abraham menegur Akira saat menyadari bahwa sang cucu laki-laki hanya diam, dan tidak mendengarkan pembicaraan dirinya bersama Alexia. "Akira, kamu kenapa?"

Akira masih terus diam, wajahnya telah berubah menjadi sangat pucat.

Alexia menoleh ke arah Akira, kedua matanya melebar sempur. Ia menggerakkan tangan kanan dengan hati-hati untuk menyentuh dahi milik sang adik. "Dek, lu sakit? Badan lu panas banget."

Akira yang merasakan sentuhan di dahinya pun seketika tersadar, mengangkat kepala, dan melihat ke arah sang kakak. "Kenapa, Kak?"

"Kok, malah bilang kenapa, ini badan lu panas banget, Dek," kata Alexia, tangan kanannya masih berada di dahi Akira.

"Emang, iya, Kak?" Akira memegang wajahnya sendiri, dan benar saja, ia dapat merasakan bahwa wajahnya sudah berubah menjadi begitu sangat panas. "Gak panas gitu, Kak."

Alexia menyentil pelan jidat Akira. "Gak panas dari mananya, orang ini badan lu panas banget."

Akira meringis kesakitan saat mendapatkan sentilan dari Alexia. Ia lalu tersenyum tipis, melihat wajah sang kakak yang telah berubah menjadi sangat khawatir.

Melihat interaksi antara Akira dan Alexia, membuat Kakek Abraham tersenyum. "Beneran panas, Ci?"

Alexia mengangguk. "Iya, Kek, badan Akira panas banget."

"Akira, mau ke rumah sakit?" tanya Kakek Abraham.

Akira dengan cepat menggelengkan kepala. "gak usah, Kek. Akira cuma demam biasa aja, besok juga pasti udah sembuh."

"Dek, lu serius? Ini badan lu panas banget, loh." Alexia mengerutkan kening, benar-benar tidak setuju dengan keputusan sang adik.

Akira hanya mengangguk merespon perkataan Alexia.

Alexia mengembuskan napas kasar. "Kalo besok belum sembuh juga, lu harus mau ke rumah sakit, oke?"

"Iya, kakak gue yang paling cantik." Akira tersenyum tipis, tangannya bergerak mengacak-acak rambut sang kakak. "Oh, iya, Kek, Akira boleh izin buat libur dulu dari Streber gak?" tanya Akira, seraya mengalihkan pandangan ke arah Kakek Abraham.

Kakek Abraham mengerutkan kening, bingung akan permintaan tiba-tiba dari sang cucu. "Boleh, emang kenapa kamu tiba-tiba mau libur?"

"Gak papa, Kek. Akira cuma ngerasa lagi cape aja. Jadi, mau ngurangin sedikit kegiatan," jelas Akira.

Rivalry Or RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang