Permintaan Maaf

17 11 32
                                    

“Di sini tempatnya, Kak?” tanya Sherly, ketika Karin memarkirkan mobil di depan sebuah restoran.

Karin mengangguk, mematikan mesin mobil, dan mencabut kunci. “Iya.”

Sherly melihat ke arah luar, mencari keberadaan mobil milik sang ayah yang katanya sudah terlebih dahulu sampai di tempat ini. Ia menopangkan dagu, mengerutkan kening, tidak juga menemukan keberadaan mobil yang sedang dirinya cari.

“Mobil ayah gak ada, kak.”Sherly menghela napas, mengalihkan pandangan ke arah Karin. “Apa dia bohongi kita, ya?”

Karin melepas seatbelt yang melindungi tubuhnya. “Jangan ngomong gitu, siapa tau ayah datang ke sini pakai taksi, atau malah diantar sama anak buahnya.”

“Mimpi kali, Kak, mana mungkin ayah mau naik taksi, kalaupun diantar sama anak buahnya, pasti mobil mereka ada di sini, tapi dari tadi gue cari gak ada, tuh,” ujar Sherly, menyandarkan tubuh ke kursi mobil, dan melipat kedua tangan di dada. “Pulang aja, yuk, Kak, gue takut dipaksa ayah buat ikut dia lagi.”

"Gak papa, Dek. Ada gue." Karin mengacak-acak rambut Sherly, lalu membuka pintu mobil. "Udah, ah, yuk, turun, kasian ayah, tadi waktu ngajak ketemuan kayaknya penting banget."

Sherly menghela napas, mengangguk seraya melepaskan seatbelt dari tubuhnya. Ia sebenarnya masih sangat takut untuk bertemu dengan sang ayah, tetapi karena sang kakak yang membujuk dan mengajak, membuat dirinya menjadi luluh begitu saja.

Karin dan Sherly berjalan beriringan memasuki pintu restoran. Mereka berdua melihat sekeliling untuk mencari keberadaan sang ayah. Kedua gadis itu terus mencari, hingga netra Karin menemukan sosok pria yang merupakan ayah kandungnya.

Karin dengan cepat menarik lengan Sherly, menghampiri sang ayah yang sedang duduk di salah satu meja dengan tatapan kosong.

“Yah, Ayah gak papa?” tanya Karin, mengerutkan bingung, melambai-lambaikan tangan di depan wajah sang ayah untuk menyadarkannya.

Mendengar suara sang anak, pria itu sontak tersadar dari lamunannya. Ia memijat mata, melihat kedua anak kesayangannya seraya mengukir senyum.

“Ayah gak papa?” Karin kembali bertanya, khawatir dengan keadaan sang ayah.

Pria itu mengangguk, masih terus mengukir senyum. “Ayah gak papa, kok. Ayo, duduk.”

Karin mengerutkan kening, merasa ada yang disembunyikan oleh sang ayah. Namun, ia tetap mengangguk, mengajak Sherly yang sedari tadi bersembunyi di belakang tubuhnya untuk duduk.

“Pesan makanan dulu, ya,” ujar pria itu, mencari seorang pelayan restoran.

Karin dengan cepat menghentikan sang ayah ketika melihat pria itu mengangkat tangan. “Gak usah, Yah. Aku sama Sherly udah makan.”

“Minum? Ngemil?” tanya pria itu, melihat Karin dengan salah satu tangan yang setengah terangkat.

Karin menggelengkan kepala. “Gak usah, Yah, langsung aja, Ayah mau ngomong apa ke Karin sama Sherly?”

Pria itu menurunkan tangan, lalu menghela napas panjang. Padahal ia ingin sekali menghabiskan sisa waktu bersama kedua anak perempuannya. Akan tetapi, ia juga sadar diri, Karin dan Sherly pasti sangat kecewa dengan semua hal yang telah dirinya lakukan selama ini.

Pria itu kembali menatap Karin dan Sherly, kedua matanya perlahan-lahan mulai berkaca-kaca. “Karin, Sherly, Ayah minta maaf. Ayah tau, Ayah udah banyak salah sama kalian, Ayah sudah banyak ngecewain kalian, tapi Ayah mohon, tolong maafin semua kesalahan yang udah Ayah buat.” Pria itu menjeda ucapannya, mencoba mengatur emosi agar tidak menumpahkan air mata. “Sekali lagi Ayah mohon, tolong maafin semua kesalahan Ayah, biar ayah bisa tenang pergi dari sini.”

Rivalry Or RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang