Bel pertanda istirahat Batara Senior High School telah berbunyi. Namun, kantin dan lapangan terlihat sangat sepi, para siswa-siswi memilih untuk diam di dalam kelas karena hujan belum kunjung berhenti.
Di koridor gedung kelas sebelas, kini terlihat Indira sedang berjalan seraya memainkan handphone, membalas chat yang telah Rere kirimkan kepadanya. Tujuan gadis itu adalah pergi ke aula sekolah, menyusul sang sahabat yang sudah terlebih dahulu pergi ke sana.
Sepanjang perjalanan, Indira bersenandung kecil, suara rintikan hujan dan suasana koridor yang sunyi membuat gadis itu menjadi sangat tenang.
Indira perlahan-lahan membuka pintu aula, suasana di dalam sangat gelap dan sepi, lampu-lampu yang ada juga dalam keadaan mati.
Indira mengerutkan kening, masuk ke dalam ruangan seraya memanggil nama sang sahabat, tetapi panggilannya itu tidak mendapatkan sahutan.
Indira mengambil handphone, mencoba menghubungi Rere untuk menanyakan keberadaan gadis itu. Namun, nomor sang sahabat tidak aktif, membuat dirinya semakin menjadi bingung.
“Rere ke mana, sih, tadi katanya ada di aula, tapi mana? Aula aja sepi gini, gelap lagi.” Indira melihat ke sekeliling aula, memeluk tubuhnya sendiri saat merasa sedikit takut dengan suasana di dalam ruangan. “Mending gue balik ke kelas aja, lah, mungkin Rere juga udah ke kelas, tapi karena handphone-nya mati makanya gak ngabarin gue.”
Indira berbalik badan, berjalan menuju pintu ruangan. Akan tetapi, saat Indira baru saja ingin keluar, secara tiba-tiba pintu ruangan tertutup dengan sendirinya, membuat Indira sontak melebarkan mata.
Indira berlari, menggedor dan mencoba membuka pintu yang sudah tertutup dengan sangat rapat.
“Woy! Buka! Gak lucu sumpah! Buka! Woy!” teriak Indira, dengan sekuat tenaga.
“Hey, lu ngapain di sini?” tanya seorang cowok, menepuk pelan pundak Indira dari arah belakang.
Indira yang merasakan tepukan itu seketika merinding, tubuhnya bergetar, kedua matanya semakin melebar. Ia mulai membaca doa-doa pengusir setan dari agama yang dirinya anut.
“Hey, kenapa malah baca doa? Gue cuma nanya, loh.” Cowok itu membalikkan badan Indira agar menatap ke arahnya.
Indira menutup mata, semakin mempercepat dan memperkencang suara bacaan doanya.
Cowok itu menghela napas, tersenyum tipis saat merasa dejavu akan hal yang dilakukan oleh Indira sekarang. Ia menggerakkan tangan, mengelus pelan puncak kepala Indira.
“Hey, ini gue, lu gak usah takut,” kata cowok itu.
Indira berhenti membaca doa, mengerutkan kening, merasa familiar dengan suara itu. Ia perlahan-lahan mulai membuka mata, melihat sosok orang yang telah membuat dirinya merasakan ketakutan.
“Kak Angkasa,” gumam Indira, melihat wajah cowok itu yang terkena cahaya dari arah luar jendela.
Angkasa mengangguk, masih terus mengukir senyuman tipis. “Iya, ini gue.”
Indira memukul lengan Angkasa dengan cukup keras. “Jahat banget, sih, lu, nakut-nakutin gue.”
Angkasa menahan tangan Indira yang terus memukul lengannya. “Mana ada gue nakut-nakutin lu, lu aja yang nethink duluan, orang masih siang juga, mana ada hantu yang keluar siang-siang gini.”
“Tapi, tetep aja lu bikin gue takut, lagian ngapain juga lu di sini? kurang kerjaan banget hujan-hujan di aula.”
“Terserah gue, lah, lu juga ngapain ke sini?” jawab dan tanya Angkasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rivalry Or Revenge
Teen Fiction‼️ ATTENTION ‼️ CERITA INI MENGANDUNG BEBERAPA KATA-KATA KOTOR YANG TIDAK DISENSOR. Streber dan Strano adalah dua organisasi yang memiliki rivalitas tinggi dari generasi ke generasi. Kedua organisasi itu tidak pernah akur dalam hal bisnis maupun di...