Ingatan

58 29 24
                                    

Rere membuka mata, memegangi kepala saat rasa pusing tiba-tiba melanda. Ia mengerutkan kening bingung, mengamati sekeliling ruangan yang terlihat sangat ramai.

Pusing pada kepala Rere semakin menjadi-jadi, saat menyadari bahwa ruangan ini adalah kantin yang terdapat di sekolahnya dulu. Indera pendengaran gadis itu menangkap beberapa percakapan para siswi yang ada di sana, membuat seluruh tubuhnya perlahan-lahan mulai bergetar.

"idih, gatel banget, sih, itu Rere, pakai nempel-nempel sama Akira."

"makanya, sok cantik banget jadi cewek."

"Gue yakin, dia pasti cuma mau manfaatin Akira doang."

"Apa coba yang Akira lihat dari dia? Cantik juga masih cantikan gue."

Suara dari siswi-siswi itu semakin mendekat, seakan ingin masuk lebih dalam ke indera pendengaran Rere. Rere menutup telinga rapat-rapat, air mata telah turun membasahi pipinya. Ia berharap semua suara itu segera pergi dan menghilang.

"Pergi, gue mohon pergi." Rere menutup mata, tubuhnya sudah bergetar dengan begitu hebat.

"Rere, jangan sedih, ada gue di sini," kata seorang gadis, mengelus lembut kepala Rere dari arah depan.

Rere kembali membuka mata, melihat ke arah gadis yang telah mengelus kepalanya. "Bung-Bunga."

Gadis yang dipanggil Bunga itu tersenyum, tangannya bergerak menghapus air mata Rere yang masih mengalir. "Iya, ini gue. Udah, ya, jangan nangis lagi, cantiknya hilang, loh, nanti."

"Gue takut, Bung, gue takut." Rere memegang tangan Bunga yang masih berada di pipinya.

Bunga menggenggam tangan Rere. "Kita pergi dari sini, yuk."

Rere mengangguk, seketika ruangan berubah dengan begitu cepat, suara dari siswi-siswi sudah menghilang entah ke mana. Suasana tiba-tiba menjadi sangat sunyi, Bunga yang tadi mengajaknya untuk pergi pun juga ikut menghilang.

Rere mengamati sekeliling, melihat sebuah ruangan berwarna merah muda dengan banyaknya boneka yang berada di atas kasur. Kepala Rere kembali merasakan sakit, ingatan akan masa lalunya terputar secara tiba-tiba.

"Bunga, ampun. Kepala gue sakit, Bung, lepasin, please," ujar Rere, seraya memegangi kepalanya.

Tubuh Rere didorong oleh seseorang dari arah belakang, membuat dirinya terjatuh di atas kasur dan mengerang. Rere memberanikan diri untuk melihat ke arah orang tersebut, matanya melebar sempurna saat melihat Bunga sedang berjalan mendekatinya dengan memainkan sebuah gunting di tangan.

Bunga naik ke atas kasur, menindihi tubuh Rere dan menjambak rambut gadis itu. "Rambut ini, rambut ini yang udah bikin Akira nolak cinta gue."

Rere semakin mengerang kesakitan, berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan jambakan Bunga dari rambutnya. "Bung, lepasin, please, kepala gue sakit."

"Diem." Bunga semakin mengencangkan jambakannya seraya menampar keras pipi Rere beberapa kali. "Gara-gara lu, Akira nolak gue. Gara-gara lu, Akira jadi benci sama gue. Semua ini gara-gara lu, Rere!"

Rere memejamkan mata, cairan bening kembali mengalir membasahi pipinya. Ia baru ingat, bahwa Bunga, lah, yang mengurung dirinya dalam pintu kegelapan selama ini. Rasa sakit pada seluruh tubuh Rere semakin menjadi-jadi, membuat gadis itu hanya bisa menangis tersedu-sedu dan berharap ada seseorang yang dapat membantunya.

"Rere, bangun, yuk, mau sampai kapan tidur terus."

Suara Akira memasuki indera pendengaran Rere, membuat gadis itu berhenti menangis, rasa sakit yang dirinya rasakan juga sudah menghilang. Rere secara perlahan mulai memberanikan diri untuk membuka mata, pemandangan pertama yang ia lihat bukanlah Bunga, melainkan mata Akira yang menatapnya dengan begitu sendu.

Rivalry Or RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang