Toilet

42 25 21
                                    

Rere berjalan memasuki toilet perempuan, merasa sedikit lelah setelah berbicara dengan Angkasa. Namun, ia senang, karena sebentar lagi cowok itu akan memulai rencana mereka.

Rere menghidupkan wastafel, mencuci wajah agar kembali menjadi segar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, tersenyum bahagia saat membayangkan keberhasilan rencana yang telah dirinya dan angkasa buat.

“Semoga keputusan gue buat bantu kak Angkasa bener,” gumam Rere, mematikan wastafel, dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.

Rere kembali mengukir senyum bahagia di wajah ketika mengingat pertemuan pertama dengan Angkasa. Saat itu, ia merasa sangat takut, karena Angkasa selalu mengikutinya selama berada di lingkungan sekolah, bahkan ia sempat berpikiran bahwa Angkasa adalah seorang penguntit dan ingin melaporkan cowok itu kepada security. Namun, pemikiran Rere seketika berubah saat Angkasa menolongnya dari gangguan Garry, dan ternyata motif cowok itu selalu mengikutinya karena ingin meminta bantuan.

Senyum Rere seketika memudar, berubah menjadi sebuah erangan kesakitan, saat rambut gadis itu dijambak oleh seseorang dari belakang.

Rere melirik ke arah belakang, mencoba melihat orang yang telah menjambak rambutnya. “Zee.”

“Hai, Re, gimana, enak gak jambakan gue?” Zee tersenyum psikopat, menguatkan jambakan pada rambut Rere.

“Zee, tolong lepasin, sakit,” pinta Rere, seraya berusaha melepaskan jambakan Zee dari rambutnya.

Mendengar permintaan Rere, membuat Zee sontak tertawa lepas, semakin mengeratkan jambakannya, dan melihat ke arah kedua temannya.

Guys, gimana, dia minta dilepas, nih?”

“Yah, gak seru banget, masa cuma digituin langsung minta dilepas,” kata salah satu gadis yang merupakan teman Zee.

“Bener, Zee, gak seru. Ingat, Zee, gara-gara dia muka lu sampe memar waktu itu,” sahut teman Zee yang lain.

“Ah, lu bener juga. Gara-gara ini cewek, muka gue jadi memar.” Zee menarik kencang rambut Rere, mendorong gadis itu hingga tersungkur ke lantai.

Rere semakin mengerang kesakitan, air mata mulai turun membasahi wajah. Rasa sakit ini benar-benar mengingatkannya pada kejadian kelam yang mengurung dirinya di dalam pintu kegelapan.

Rere berusaha untuk bangkit, tekad yang telah ia bulatkan pada minggu lalu tidak boleh sirna hanya karena hal serupa. Ia sudah berjanji pada dirinya dan pada semua teman-teman yang sayang dengannya, bahwa akan melawan trauma masa lalu yang terus menghantuinya.

Zee mengukir senyum remeh saat melihat Rere sedang berusaha untuk berdiri, berjalan mendekati gadis itu, lalu kembali mendorongnya hingga terjatuh.

Zee berjongkok, mencengkram dagu Rere agar gadis itu melihatnya. “gimana, Re? Enak, kan?”

“Zee, lepasin, please, sakit,” pinta Rere, wajahnya telah dipenuhi oleh air mata yang terus mengalir.

Zee mengubah raut wajah menjadi sesedih mungkin. “Mau dilepasin, ya? Nanti gue lepasin, kok, tapi setelah gue puas main-main sama lu.”

Cengkeraman Zee pada dagu Rere sontak terlepas, tubuhnya terpental ke arah belakang hingga menghantam dinding toilet.

“Zee!” jerit kedua teman Zee, berlari menghampiri sang sahabat yang sedang mengerang kesakitan.

Zee memegangi bagian belakang kepala, mengangkat wajah, berusaha melihat orang yang telah mengganggu kesenangannya.

“Kak Angkasa,” kata Zee dengan lirih, melihat Angkasa yang tengah menatap tajam ke arahnya.

Rivalry Or RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang