Pencarian

39 22 25
                                    

Waktu telah menunjukkan pukul 08.00. Di dalam mansion keluarga Abraham, kini terlihat Akira sedang tergesa-gesa menuruni anak tangga dengan membawa kunci motor dan jaket di tangan kanannya.

Sekitar lima menit yang lalu, Akira baru saja tiba di dalam mansion. Tujuannya hanya satu, yaitu mandi dan mengganti seragam sekolah yang telah ia pakai dari kemarin pagi.

Akira berjalan menuju pintu keluar. Namun, ia sontak menghentikan langkah kaki saat mendengar suara seorang perempuan paruh baya memanggil namanya.

“Den, udah mau berangkat lagi?” tanya perempuan paruh baya itu, berjalan mendekati Akira.

Akira menoleh ke arah sumber suara, tersenyum tipis, menghampiri perempuan paruh baya itu, lalu mencium tangan kanannya. "Iya, Bi. Akira mau berangkat lagi."

Bibi mengusap lembut puncak kepala Akira. “Sarapan dulu, Den, udah Bibi masakin makanannya.”

“Gak dulu, Bi, Akira lagi buru-buru, nanti Akira sarapan di luar aja,” tolak Akira, mengangkat kepala dengan masih terus menunjukkan senyuman tipis.

“Ih, jangan, Den. Bentar, ya, tungguin, Bibi siapin bekal dulu.”

Bibi berjalan meninggalkan Akira menuju dapur untuk mengambil kotak makan dan mengisinya dengan berbagai makanan yang telah ia masak. Setelah kotak makan itu penuh, ia lalu kembali menghampiri Akira, memberikan kotak makan itu kepada cowok yang merupakan cucu dari majikannya.

“Makasih, ya, Bi,” kata Akira, menerima kotak makan pemberian bibi.

Bibi mengangguk. “Iya, Den, dihabisin, ya.”

“Pasti, Bi, pasti Akira habisin. Akira pamit berangkat dulu, ya, udah ditungguin sama yang lain soalnya,” pamit Akira, mencium tangan kanan bibi.

“Eh, bentar, Den, tadi Bibi ditelpon sama mbak Clara,” ujar bibi.

Akira mengerutkan kening. “Mama? Mama ngapain nelpon, Bi?”

“Nanyain Aden, mbak Clara khawatir karena Aden gak bisa dihubungi. Terus juga katanya, Aden belum ke rumah sakit, kalo Bibi boleh tau, Aden kenapa belum ke rumah sakit?” jelas dan tanya bibi, menatap khawatir ke arah Akira.

Akira menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencari alasan agar bibi tidak curiga dengan jawaban yang akan dirinya berikan. “Ah, itu, Bi, Akira lagi sibuk, jadi belum sempet ke rumah sakit, terus juga handphone Akira mati, makanya mama gak bisa ngehubungi Akira, tapi nanti sore Akira ke rumah sakit, kok, Bibi mau ikut?”

Bibi menggelengkan kepala, mengembuskan napas lega, rasa khawatir yang tadi menyelimutinya seketika menghilang saat mendengar jawaban Akira. “Nggak, Den, Bibi gak bisa ninggalin kerjaan rumah, tapi Bibi boleh minta tolong gak? kabarin Bibi kalo keadaan non Cia udah membaik.”

“Aman, Bi, nanti Bibi pasti Akira kabarin.” Akira mengangkat ibu jarinya ke arah bibi disertai dengan senyuman.

Bibi membalas senyuman Akira. “Makasih, ya, Den.”

“Iya, Bi. Ya, udah, Akira berangkat dulu, ya,” pamit Akira, melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 08.15.

“Iya, hati-hati di jalan, Den.” Bibi mengangguk, mengelus puncak kepala Akira sebelum cowok itu pergi meninggalkannya.

•••

“Lu kenapa, Hir?” tanya Vino, melihat Hiro yang baru saja datang dengan raut wajah kusam.

Hiro menggelengkan kepala, mendudukkan tubuhnya di sofa yang berada di dalam kamar milik Viko dan Vino. “Gak papa, Akira belum datang, kah?”

Vino menggelengkan kepala, memperbaiki guling yang sedang dirinya pakai untuk tidur. “Belum, paling bentar lagi datang.”

Rivalry Or RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang