Suka

41 29 24
                                    

Pada pagi ini, langit terlihat begitu cerah, matahari mulai beranjak dari posisinya untuk naik ke puncak tertinggi di atas angkasa, tidak lupa menyapa banyaknya makhluk hidup dengan cahaya terangnya.

Kantin Batara Senior High School, kini telah dipenuhi oleh banyaknya siswa-siswi yang berdatangan. Suara mereka saling bersahutan, memenuhi meja dan beberapa stan makanan, seakan menunjukkan kepada dunia bahwa mereka sedang dalam keadaan kelaparan.

Di salah satu meja yang terletak di pojok ruangan kantin, terlihat Rere sedang melamun seraya memainkan mie instan pesanannya menggunakan sendok, mengabaikan suara Indira, Safira, dan Sherly yang sedang mengobrol.

“Mienya dimakan, Re, bukan malah dimainin gitu,” kata Indira, melihat ke arah Rere dan mengambil sendok dari genggaman sang sahabat.

Rere sontak terperanjat dengan mata yang melebar sempurna. Ia lalu menatap Indira yang sudah mengarahkan satu sendok berisi mie instan ke mulutnya.

“Buka mulut lu, Re,” perintah Indira.

Rere menurut, membuka mulut, membiarkan Indira menyuapinya.

“Nah, gitu. Mie itu dimakan, bukan dimainin,” kata Indira, tersenyum melihat Rere yang sedang mengunyah mie.

Safira menopangkan dagu seraya melihat ke arah Rere. “Lu lagi mikirin apaan, Kak?”

Rere diam, mulutnya yang sedang mengunyah perlahan-lahan mulai berhenti, membuat Indira, Safira, dan Sherly semakin penasaran akan sesuatu yang sedang gadis itu pikirkan.

“Gue kepikiran sama omongan kak Angkasa, Dir, Fir, Sher,” ucap Rere, melihat Indira, Safira, dan Sherly secara bergantian.

Indira mengerutkan kening, genggaman pada sendok yang sedang ia pegang telah berubah menjadi cengkeraman. “Omongan kak Angkasa? Emang kak Angkasa ngomong apa ke lu, Re? Omongannya nyakitin hati lu, kah?”

Rere dengan cepat menggelengkan kepala. “Bukan gitu, Dir, dia gak nyakitin perasaan gue sama sekali, kok.”

“Terus, dia ngomong apaan, Kak?” Safira mengambil gelas berisikan jus jeruk, lalu meminumnya.

Rere menundukkan kepala, terlihat ragu untuk menceritakan perkataan Angkasa kepada ketiga sahabatnya. Namun, Rere berpikir, ia harus menceritakan hal itu agar perasaan yang terus mengganggu dirinya ini menghilang.

Rere beberapa kali mengembuskan napas panjang, sebelum menceritakan perkataan Angkasa tadi pagi kepada Indira, Safira, dan Sherly. “Dia bilang kalo Akira sayang sama gue bukan sebagai seorang sahabat, tapi sebagai seorang cewek. Menurut kalian itu bener gak, sih? Apa cuma perasaan kak Angkasa aja?”

“Oh, soal itu.” Safira menaruh gelas di atas meja, mengambil sendok dari mangkuk dan menyuapkan sesendok mie instan ke dalam mulutnya. “Dari dulu juga kak Akira selalu menganggap lu itu sebagai seorang cewek, Kak.”

Rere mengangkat kepala, menatap bingung ke arah Safira. “Maksudnya gimana, Fir?”

Safira mengembuskan napas panjang, kemudian tersenyum tipis. “Interaksi lu sama kak Akira itu terlalu berlebihan, Kak, kalo cuma sebagai temen deket, apalagi gender kalian beda. Lu bisa bedain aja interaksi kak Akira sama kak Chika dan kak Gaby, pasti lu bakal sadar kalo mereka berdua gak pernah dapatin sesuatu yang kak Akira berikan ke lu. Kita ambil contoh simpelnya aja, akhir-akhir ini, kak Akira sering banget, kan, ngasih pelukan ke lu? Bahkan gak sedikit kak Akira meluk lu waktu lagi di depan umum, dan itu gak akan pernah kak Akira lakuin ke kak Chika sama kak Gaby.”

Sepanjang Safira menjelaskan, Rere kembali mengingat interaksinya dengan Akira akhir-akhir ini, dan benar apa yang dikatakan oleh Safira, ia baru sadar bahwa Akira lebih sering memeluk dirinya di depan umum. Rere memegangi dada, jantungnya kembali berdetak dengan kencang saat mengingat itu semua.

Rivalry Or RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang