Waktu menunjukkan pukul 20.00. Langit terlihat sangat cantik, ribuan bintang hadir membentuk berbagai bentuk pola yang sangat indah, membuat semua makhluk hidup terpesona saat melihatnya. Ditambah, kehadiran bulan di tengah-tengah menjadi penyempurna keindahan sang angkasa pada malam ini.
Di parkiran rumah sakit, kini terlihat Akira dan Rere baru saja turun dari atas motor seraya melepaskan helm yang sedang mereka berdua kenakan.
“Bisa gak?” tanya Akira, menaruh helm miliknya di atas motor, lalu melihat Rere yang sedang kesusahan melepas pengikat tali dagu.
Rere terus berusaha melepaskan tali pengikat. “Susah.”
“Sini, aku bantu.” Akira menggerakkan tangan ke dagu Rere, melepaskan tali pengikat dan helm dari kepala gadis itu. Tidak lupa, ia merapikan rambut Rere yang sedikit berantakan akibat memakai helm.
“Makasih,” kata Rere, tersenyum manis ke arah Akira.
Akira mengangguk, menaruh helm milik Rere di jok belakang motornya. Ia lalu menggandeng lengan Rere, membawa gadis itu pergi menuju pintu masuk rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, kedua remaja itu sibuk mengobrol, dengan beberapa kali menunjukkan kemesraan yang membuat orang-orang sontak melihat ke arah mereka.
Saking asyiknya mengobrol, membuat Rere secara tidak sadar menabrak tubuh seorang gadis yang sedang berpapasan dengan dirinya.
Rere sontak melebarkan mata, berjongkok dan mengulurkan tangan untuk membantu gadis itu berdiri. “Aduh, maaf, Mbak, saya gak sengaja.”
Gadis itu melihat dan menerima bantuan Rere untuk berdiri. "Iya, gak papa, Mbak. Itu bukan kesalahan Mbak sepenuhnya, kok. Saya juga salah karena gak fokus waktu jalan. Jadi, saya juga minta maaf, ya, Mbak."
Rere tersenyum tipis. “Iya, Mbak. Kalo gitu sayang pergi duluan, ya?”
Gadis itu mengangguk dan membalas senyuman Rere. “Iya, Mbak, silahkan.”
“Ayo, Akira.” Rere menatap ke arah Akira, menggandeng lengan cowok itu dan berjalan menuju ruangan tempat Alexia berada.
“Kamu gak papa, Re?” tanya Akira, khawatir dengan keadaan Rere.
Rere kembali menatap Akira, menggelengkan kepala dan tersenyum manis ke arah cowok itu. “Nggak, kok, aku gak papa.”
“Syukurlah.” Akira melepaskan gandengan Rere, lalu merangkul pundak gadis itu.
Gadis yang tadi bertabrakan dengan Rere masih diam di tempat, menatap punggung Rere dan Akira yang perlahan-lahan mulai menghilang dari kedua matanya.
“Bunga, kamu ngapain diem di sini? Ayo, pulang, ayah udah nungguin,” tanya seorang perempuan paruh baya, menepuk pelan pundak gadis itu.
Gadis itu sontak menoleh, mendapati kehadiran sang ibunda yang sedang menatap khawatir ke arahnya. “Bunga gak ngapa-ngapain, kok, Ma. Ya, udah, ayo, pulang.”
Perempuan paruh baya itu mengangguk, merangkul pundak Bunga seraya berjalan meninggalkan bangunan rumah sakit. Sedangkan Bunga, ia hanya diam, membiarkan sang mama menuntut tubuhnya. Saat ini, ia hanya memikirkan tentang gadis yang bertabrakan dengan dirinya tadi, entah kenapa ia merasa sangat familiar dengan gadis itu.
•••
Akira melepaskan rangkulan pada bahu Rere, berjalan mendekati sang mama yang sedang duduk di kursi ruang tunggu dengan ditemani oleh Chika, Fera, Gaby, Karin, dan nenek.
“Mama,” panggil Akira, melihat sang mama yang sedang menundukkan kepala.
Clara membuka mata, mengangkat kepala dan melihat ke arah Akira. Ia sontak berdiri, memeluk erat tubuh sang anak yang sangat dirinya rindukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rivalry Or Revenge
Teen Fiction‼️ ATTENTION ‼️ CERITA INI MENGANDUNG BEBERAPA KATA-KATA KOTOR YANG TIDAK DISENSOR. Streber dan Strano adalah dua organisasi yang memiliki rivalitas tinggi dari generasi ke generasi. Kedua organisasi itu tidak pernah akur dalam hal bisnis maupun di...