Papa Masih Sayang Sama Mama?

30 15 25
                                    

Suara pukulan pada samsak tinju terdengar memenuhi ruangan yang memiliki berbagai macam jenis alat olahraga, berpadu dengan teriakan seseorang yang membuat suasana di dalam ruangan terdengar semakin ramai.

Pintu ruangan itu perlahan-lahan terbuka, menampilkan seorang pria paruh baya berjalan masuk ke dalam seraya membawa sebuah tas olahraga di tangan kanannya.

“Kamu udah lama di sini, Hir?” tanya pria paruh baya itu, meletakkan tasnya di salah satu alat olahraga yang terdapat di dalam ruangan.

Hiro berhenti memukul samsak tinju, menoleh ke arah pria paruh baya itu dan mengangguk. "Udah hampir tiga jam, Pa."

Pria paruh baya itu memasang posisi, melakukan beberapa gerakan pemanasan sebelum mencoba berbagai macam jenis alat olahraga. “Lagi ada masalah?”

Hiro menggelengkan kepala, berjalan mengambil botol berisi air minum dan meneguknya. “Nggak ada.”

Pria paruh baya itu mengangguk. Sebenarnya, ia tahu betul bahwa Hiro sedang berbohong. Namun, ia memilih untuk diam, menghargai pemikiran sang anak yang tampaknya ingin menyelesaikan masalahnya sendiri.

“Kalo udah gak bisa kamu atasi, kamu bisa cerita ke Papa,” kata pria paruh baya itu.

Hiro hanya berdeham sebagai jawaban, menaruh kembali botol air minum miliknya, dan bersiap-siap untuk melatih power pukulannya lagi.

“Hiro, kamu masih sering ketemu sama mama?” tanya pria paruh baya itu, seraya menaiki static bicycle.

Hiro mengangguk, mengambil posisi dan mulai memukul samsak tinju yang ada di depannya.

“Mama kamu sehat, kan? Dia gak sakit, kan?” Pria paruh baya itu mulai mengayuh static bicycle yang sedang ia naiki.

Hiro memberi pukulan yang sangat keras pada samsak, hingga benda mati itu terhempas ke belakang dengan cukup kuat. “Dia sehat, sehat banget malahan.”

“Syukurlah kalo gitu, Papa jadi tenang kalo mama kamu sehat.”

Hiro menghentikan aksi memukulnya, lalu melihat ke arah sang papa. “Papa masih sayang sama mama?”

Pria paruh baya itu tersenyum tipis saat mendapat pertanyaan dari sang anak. “Selalu, Papa selalu sayang sama mama kamu.”

Hiro menggelengkan kepala seraya melepas hand wrap yang melekat di kedua tangannya. “Hiro bingung sama cara pikir Papa, padahal mama udah nyakitin hati Papa dengan dia selingkuh sama temannya, tapi kenapa Papa masih terus sayang sama mama? Kalo Hiro jadi Papa, Hiro udah gak mungkin sayang sama mama, dan bahkan mungkin, Hiro bakal bikin hidup dia jadi sengsara.”

“Ya, gimana, Papa udah pernah bilang, kan, ke kamu, kalo mama akan selalu ada di dalam hati Papa, meskipun mama kamu udah mengkhianati pernikahan kami, tapi rasa sayang Papa ke dia masih akan terus ada, dan mungkin rasa cinta Papa emang udah habis di mama kamu,” kata pria paruh baya itu, masih mengukir senyum tipis di wajah.

“Dasar bucin.” Hiro berjalan menuju sebuah lemari untuk menyimpan hand wrap. “Pa, kasus Teo Mahendra jadinya gimana? Hiro sempat baca berita, katanya dia masih jadi buronan. Papa belum disuruh gerak sama kakek Abraham?”

“Belum, pak bos belum ada ngasih arahan, dia bilang kasus Teo Mahendra biar jadi urusan pihak kepolisian,” jawab pria paruh baya itu, turun dari atas static bicycle, dan berjalan menuju tempat barbel. “Kamu sendiri gimana? Papa denger, team Akira ngajuin diri buat nyari orang yang udah bikin Cia kecelakaan.”

“Belum ada hasil, Pa, Hiro sama yang lain masih terus nyari, dan besok kayaknya kami bakal masuk area Strano buat nyari sisa-sisa geng motor yang kami curigain.” Hiro mengambil tas, lalu berjalan mendekati sang papa.

Rivalry Or RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang