Satu Minggu telah berlalu, langit yang tadi berwarna biru tua berubah menjadi hitam pekat, suara guntur dan petir menggelegar memenuhi angkasa. Satu persatu tetesan air mulai turun membasahi bumi, menandakan sang angkasa sedang bersedih.
Di parkiran yang letaknya tidak jauh dari sebuah sekolah menengah pertama, kini terlihat delapan orang remaja sedang menunggu sang angkasa berhenti meneteskan air mata. Delapan orang remaja itu tidak lain adalah Akira dan sahabat-sahabatnya.
"Makin deras hujannya, Dek," ujar Alexia, mengulurkan tangan untuk mengambil tetesan air hujan.
Akira melihat ke arah langit. "Iya, Kak."
Gaby ikut melihat ke arah langit, memasukkan kedua tangan yang sudah menggigil ke dalam saku jaket. "Terus gimana, Ra? Ini mau kita batalin?"
Akira menggelengkan kepala, mengalihkan pandangan ke sekolah yang akan menjadi targetnya malam ini. "Kita siap-siap. Viko, Vino, jalanin rencana yang udah kalian buat."
Vino tersenyum simpul seraya membunyikan tulang-tulang tangan. "Oke, siap, Ra. Ayo, Bang, kita buat itu dua security dapat pengalaman yang sangat indah."
Viko mengangguk setuju. "Let's go! Bentar, gue chat anak-anak."
"Udah?" tanya Vino, melihat sang kakak memasukkan handphone ke dalam saku jaket.
"Udah. Ayo, mulai." Viko memasang masker hitam yang telah ia bawa, lalu menyalakan motor miliknya.
"Gas! Bang." Vino ikut menyalakan motor dan melihat ke arah sahabat-sahabatnya. "Tunggu berita bagus dari gue sama Bang Viko, ya."
Akira dan yang lainnya mengangguk. Mereka menatap motor milik si kembar yang telah melaju ke arah gerbang sekolah.
Akira menoleh ke arah Alexia dan Chika. "Kak, Chik, giliran kalian."
Alexia dan Chika mengangguk, mengambil laptop dari dalam tas, lalu menyalakannya. Tangan kedua gadis itu dengan cekatan bermain-main di keyboard, memasukkan semua kode yang telah mereka dapatkan.
"Udah selesai, Dek. Semua CCTV udah gue sama Chika matiin," kata Alexia.
"Oke, thanks, Kak." Akira menutupi kepala menggunakan tudung jaket, tidak lupa juga mengenakan masker hitam seperti Viko.
Suara dering handphone berbunyi, membuat Akira mengambil benda pipih itu dari dalam saku jaket. Ia membuka handphone, mengangkat panggilan telepon setelah membaca nama Viko pada layar.
"Kenapa, Vik?" tanya Akira, setelah sambungan telepon terhubung.
"Security-nya udah gue amanin, lu sama yang lain bisa masuk sekarang. Oh, iya, lu mending masuk lewat gerbang, Ra. Sekalian ambil kunci sekolah di ruangan security." jawab Viko dari seberang sana.
"Oke, thanks, Vik, gue ke situ." kata Akira, sebelum mematikan sambungan telepon. "Hir, By, Kar. Ayo, masuk."
Gaby, Hiro, dan Karin berjalan mendekati Akira. Mereka bertiga tidak lupa menaikan tudung jaket dan menutupi sebagian wajah menggunakan masker hitam.
"Udah, siap?" tanya Akira, saat Gaby, Hiro, dan Karin sudah berada di sampingnya.
"Siap, Ra," ucap Hiro, Gaby, dan Karin secara bersamaan.
Suara air hujan mengiringi langkah kaki keempat remaja yang sedang bergerak memasuki area sekolah. Keempat remaja itu berjalan menuju gerbang untuk mengambil kunci sesuai usulan dari Viko.
"Kalian apain ini dua orang security, Vik, Vin?" tanya Gaby, saat tiba di gerbang sekolah.
Viko memainkan dua gantungan yang masing-masing memiliki puluhan kunci. "Gak gue apa-apain, orang tadi pas sampe sini udah pada tidur. Ya, udah, gue kasih aja headset, terus puterin ASMR biar tidurnya makin nyenyak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rivalry Or Revenge
Teen Fiction‼️ ATTENTION ‼️ CERITA INI MENGANDUNG BEBERAPA KATA-KATA KOTOR YANG TIDAK DISENSOR. Streber dan Strano adalah dua organisasi yang memiliki rivalitas tinggi dari generasi ke generasi. Kedua organisasi itu tidak pernah akur dalam hal bisnis maupun di...