Kemarahan Hiro

50 26 29
                                    

Malam telah berubah menjadi pagi, rintikan air hujan yang tadi malam turun sudah berhenti. Matahari kembali menjalankan tugasnya untuk menyinari dunia. Di depan gerbang Batara Senior High School, kini terlihat motor Akira baru saja berhenti, membuat siswa-siswi yang ada di sana refleks menoleh ke arahnya.

Rere turun dari atas boncengan motor Akira, melepas helm yang masih melekat di kepala, lalu menyerahkannya kepada sang sahabat.

Akira menerima helm pemberian Rere, mengaitkan helm itu pada bagian belakang jok motor. Setelah itu, ia bergerak merapikan rambut Rere yang sedikit berantakan.

“Ingat, belajar yang rajin, jangan kebanyakan main,” kata Akira, masih sibuk merapikan rambut Rere.

Rere mengangguk, membiarkan Akira sesuka hati merapikan rambutnya. “Iya, kamu juga harus rajin belajar. Oh, iya, aku nanti sore boleh, kan, jenguk kak Cia di rumah sakit?”

“Jangan, kak Cia masih belum sadar,” jawab Akira, menjauhkan tangannya dari kepala Rere setelah rambut gadis itu kembali menjadi rapi.

“Kok, gitu? bolehin, ya? Aku mau nemenin nenek, terus juga kata bunda tadi aku disuruh nyusul ke rumah sakit kalo udah pulang sekolah,” jelas Rere.

Akira mengerutkan kening. “Bunda tau dari mana?”

“Tau dari mama kamu, tadi malam beliau nelpon bunda, terus minta tolong sama bunda buat jagain nenek sama Kak Cia. Mama kamu juga bilang, kalau beliau lagi dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Jadi, boleh, ya, aku ke rumah sakit.”

Akira mengembuskan napas panjang. Tadi malam, sesudah selesai mengobrol dengan Chika dan Gaby, ia disuruh oleh Kakek Abraham untuk menghubungi sang mama yang saat ini sedang berada di negeri sakura.

Kakek Abraham menyuruhnya untuk memberitahu sang mama tentang keadaan Alexia. Dan seperti yang dikatakan oleh Rere, sang mama langsung bergegas pulang ke Indonesia setelah mendapatkan kabar darinya. Namun, Akira tidak pernah menyangka, kalau perempuan yang telah melahirkannya itu akan meminta tolong ke bunda untuk menjaga nenek dan Alexia sebelum dia tiba.

“Ya, Akira, boleh, ya?” Rere memegang tangan kanan Akira, wajahnya telah dibuat seimut mungkin.

“Kalo bunda udah bilang gitu, gue bisa apa? Lagian kenapa lu izin ke gue, dah?”

“Pingin aja, nanti kalo aku gak izin, kamu marah lagi. Tapi, kalo kamu gak suka, ya, udah, aku nanti gak izin lagi ke kamu.” Rere melepaskan pegangannya pada tangan Akira.

Akira menarik lengan Rere, tangannya memeluk pinggang, dan menatap gadis itu dengan begitu tajam.

“Jangan, lu harus terus izin sama gue, apa pun hal yang bakal lu lakuin, harus dapat izin dari gue, paham?”

Mata Rere terpaku pada tatapan tajam Akira. Ada sesuatu yang membuat dirinya seperti terhipnotis oleh sorot mata sang sahabat.

Rere merasakan detak jantungnya seketika bertambah menjadi lebih cepat. Ia bingung, kenapa itu bisa terjadi, padahal hal seperti ini sudah sering dilakukan Akira kepadanya.

Perlahan-lahan Rere mengangguk, seakan menyetujui semua perintah dari Akira.

“Rere.”

Suara panggilan dari seseorang membuat Akira dan Rere yang masih sibuk bertatapan sontak mengalihkan pandangan. Dari tempat mereka berada, kedua remaja itu dapat melihat seorang cowok yang sedang berjalan mendekat.

“Kak Angkasa,” kata Rere, tersenyum ke arah cowok itu.

Akira mengerutkan kening, merasa terganggu dan tidak nyaman akan kehadiran cowok itu. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang Rere, seakan memberitahu kepada cowok itu, bahwa Rere adalah miliknya.

Rivalry Or RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang